Suara.com - Menjadi korban 'ghosting' bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Bahkan, perilaku ini dapat membuat korban merasa sakit hati, terutama pada orang yang memiliki harga diri rendah.
Berdasarkan laman Psychology Today, hubungan atau ikatan nyata yang berakhir secara tiba-tiba dan tanpa penjelasan yang jelas dapat menyebabkan reaksi traumatis.
Dalam studi psikologis, penolakan sosial akan mengaktifkan jalur neurologis yang sama dengan rasa sakit fisik.
"Rasa sakit fisik dan rasa sakit emosional sebenarnya berada di jalur yang sama. Jadi, penolakan sosial dapat menyebabkan tingkat rasa sakit yang sama yang akan ditimbulkan oleh cedera pada tubuh," kata psikolog Jennice Vilhauer.
Baca Juga: 4 Cara Menghadapi Gebetan atau Pasangan yang Suka Ghosting, Ketahui Sebelum Terlambat!
Terlebih, orang dengan harga diri rendah juga cenderung melepaskan lebih sedikit opioid (reseptor yang mengurangi rasa sakit) yang dihasilkan secara internal ke otak setelah penolakan.
Artinya, orang yang memiliki harga diri rendah kurang bisa menoleransi rasa sakit akibat ditinggalkan atau diabaikan.
Ghosting bukanlah cara yang bagus untuk mengakhiri sebuah hubungan. Sebab, ini termasuk perilaku pasif-agresif, yakni melindungi diri sendiri dengan mengorbankan perasaan orang lain.
Bagaimana cara move on setelah di-ghosting?
Menurut Villhauer, perilaku ghosting bukanlah salah korban dan bukan berarti sang korban tidak layak untuk dicintai.
Baca Juga: 4 Alasan Seseorang Melakukan Ghosting, Kamu Pernah Mengalami?
"Ini menunjukkan bahwa pelaku tidak memiliki keberanian untuk menghadapi ketidaknyamanan emosi mereka sendiri atau emosimu, dan mereka juga tidak memahami dampak dari perilaku tersebut," ungkap Villhauer.
Ia selalu mendorong pasien korban ghosting untuk menjadi orang yang lebih baik, pertahankan harga diri dan biarkan pelaku pergi.
"Jangan biarkan perilaku buruk orang lain merampas masa depanmu dengan tidak terbuka dan menutup diri dari hubungan yang lain," imbuhnya.
Selain itu, fokuskan energi pada hal-hal yang membuat bahagia. Menurut Villhauer, cara ini akan membuat orang yang lebih baik menghampiri selama korban tetap membuka hati dan fokus ke masa depan.