Cek Fakta
Suara.com - Sebuah studi baru menemukan konsumsi makanan nabati yang sehat bisa membantu Anda mencegah diabetes tipe 2, termasuk menghindari konsumsi daging.
Makanan nabati yang sehat termasuk buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, kopi/teh, minyak sayur dan kacang-kacangan.
Sedangkan, makanan nabati yang tidak sehat termasuk biji-bijian olahan, jus buah, kentang, minuman manis, dan permen/makanan penutup.
"Temuan kami mendukung peran menguntungkan dari pola makan nabati yang sehat dalam mencegah diabetes dan memberikan wawasan baru untuk penyelidikan di masa mendatang," kata para peneliti dikutip dari US News.
Baca Juga: Kelelahan Bisa jadi Gejala Virus Corona Covid-19 dan Kondisi Lain, Begini Perbedaannya!
Pada penelitian ini, para peneliti menganalisis data lebih dari 10.600 peserta dalam tiga penelitian jangka panjang di AS, yang mana sebagian besar adalah orang kulit putih dan setengah baya.
![Ilustrasi diabetes. [Dok.pixabay/stevepb]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/03/23/85406-diabetes.jpg)
Rata-rata, mereka juga memiliki indeks massa tubuh (BMI) 25,6 yang dianggap kelebihan berat badan. BMI adalah perkiraan lemak tubuh berdasarkan tinggi dan berat badan.
Bila dibandingkan dengan peserta penelitian yang tidak mengembangkan diabetes tipe 2, mereka yang kelebihan berat badan konsumsi lebih sedikit makanan nabati sehat.
Mereka yang memiliki rata-rata BMI lebih tinggi juga cenderung memiliki tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi.
Selain mengisi kuesioner untuk penelitian, peserta juga memberikan sampel darah yang dianalisis untuk metabolit terkait diet mereka.
Baca Juga: Virus Corona Covid-19 Bisa Memengaruhi Mata, Kenali Tanda-tandanya!
Metabolit diproduksi ketika tubuh memecah makanan, obat-obatan, bahan kimia atau jaringannya sendiri untuk menghasilkan energi.
"Metabolit seseorang dari konsumsi makanan nabati yang kaya polifenol seperti buah-buahan, sayuran, kopi, dan kacang-kacangan semuanya terkait erat dengan pola makan nabati yang sehat untuk menurunkan risiko diabetes," kata Frank Hu, profesor di Harvard TH Chan School of Public Health, di Boston.
