Suara.com - Australia mendeteksi adanya paparan subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 untuk pertama kalinya. Namun, temuan itu bukan berupa kasus infeksi Covid-19. Melainkan terdeteksi di daerah tangkapan air limbah Melbourne, Australia.
Subvarian tersebut ditemukan dalam sampel yang diambil dari DAS Tullamarine di barat laut kota.
Subvarian Omicron BA.4 itu pertama kali terdeteksi pada Maret lalu di Afrika Selatan, Botswana, Denmark, dan Inggris. Sementara kasus BA.5 terdeteksi di Afrika Selatan, dengan satu kasus di Hong Kong.
Paparan subvarian BA.4 dan BA.5 sebenarnya masih jarang ditemukan, karena juga sangat sedikit sampel yang tersedia untuk dipelajari oleh ahli epidemiologi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan kurang dari 200 urutan strain baru yang dikumpulkan hingga saat ini.
Dari data awal, ahli epidemiologi mengatakan kalau BA.4 dan BA.5 mirip dengan strain Omicron lain yang telah lebih dulu muncul.
Pemimpin epidemiologi WHO Maria Van Kerkhove mengatakan, para ilmuwan akan terus melacak strain Omicron. Temuan awal menunjukkan sedikit perbedaan antara strain BA.1 dan BA.2 dan varian lain yang lebih baru.
"Kami tidak mendeteksi perubahan dalam epidemiologi orang yang terinfeksi BA.4 atau BA.5 dibandingkan dengan sub-garis keturunan Omicron sebelumnya. Kami belum melihat perubahan dalam tingkat keparahan," kata Dr Van Kerkhove, dikutip dari ABC News.
Direktur kedaruratan WHO Michael Ryan menambahkan bahwa dengan memetakan evolusi virus bisa menjadi kunci dalam fase penanganan pandemi berikutnya.
Baca Juga: Sudah Vaksinasi di Luar Negeri, Ini Cara Melakukan Verifikasi Agar Muncul di Aplikasi PeduliLindungi
"Ketika virus bergerak, kami perlu melacaknya. Karena kami tidak tahu apa yang kembali," kata Dr Ryan.
Chief Health Officer Brett Sutton mengatakan dia tidak terkejut subvarian omicron telah terdeteksi di air limbah Melbourne.
"Tidak terkejut. Tapi tidak khawatir. Intinya dengan semua garis keturunan yang baru muncul adalah ketika mereka bersaing dengan varian yang ada. Kami mendapat tekanan ke atas pada kasus dan lebih banyak risiko terinfeksi," tulis Profesor Sutton di Twitter.