Suara.com - Kalangan akademisi diminta lebih kritis dalam melihat potensi bahaya Bisfenol A atau BPA—bahan kimia dalam Air Minum Dalam Kemasan(AMDK) galon. Seperti diketahui, bahwa BPA bisa memicu kanker dan kemandulan—pada galon keras polikarbonat.
"Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara terbuka dan berulang kali menekankan perlunya mengantisipasi dampak peredaran luas galon polikarbonat yang mengandung BPA pada kesehatan masyarakat di masa datang, tapi ironisnya sebagian akademisi masih menganggapnya sebagai hal biasa dan malah membawa-bawa analogi yang rancu," kata Koordinator riset dan teknologi FMCG Insights, Muhammad Hasan dalam keterangannya, Rabu, (6/4/2022).
Pernyataan itu merespon sejumlah komentar akademisi di media yang menganggap remeh efek paparan sinar matahari pada galon guna ulang. Menurut Hasan, hal tersebut justru menutup celah bagi publik untuk memahami risiko BPA secara utuh.
"Pengandaian itu mengecoh dan memberi angin pada industri yang sedari awal menentang inisiatif BPOM terkait pengendalian dampak BPA," katanya. "Faktanya, efek paparan sinar matahari pada kursi plastik bisa jelas terlihat mata, sementara peluluhan BPA hanya bisa dikenali dari uji laboratorium."
Baca Juga: Kepala BPOM Tidak Setuju Vaksin Covid-19 Kedaluwarsa Dibuang, Apa Alasannya?
Belum lagi, ujarnya, kursi plastik bukanlah bahan kontak pangan sehingga produksinya tidak menuntut standar mutu dan keamanan yang tinggi, seperti dalam produksi galon polikarbonat untuk air kemasan.
Hasan juga mengkritik akademisi yang seperti ingin menyudahi wacana pelabelan risiko BPA dengan dalih untuk meredam kegaduhan masyarakat.
“Jauh lebih bijak bila akademisi menggelar riset membantu BPOM,” katanya. Dia mencontohkan minimnya riset terkait level peluluhan BPA pada galon guna ulang yang usianya sudah di atas lima tahun namun masih beredar di pasar, atau keamanan galon yang pengangkutannya menggunakan truk terbuka, atau mutu galon yang kerap dicuci dan disikat berulang.
Plastik polikarbonat, yang produksinya mengandalkan bahan kimia BPA, telah lama dianggap sebagai darling dunia industri. Namun seiring perkembangan riset dan sains mutakhir, otoritas keamanan pangan di berbagai negara mengkhawatirkan residu BPA pada kemasan polikarbonat dan efeknya pada kesehatan manusia. Di Perancis dan Kanada, misalnya. Pemerintah di kedua negara melarang peredaran semua kemasan pangan yang mengandung BPA, setelah sebelumnya sebatas melarang penggunaannya pada kemasan botol bayi.
Di Indonesia, BPOM mengharuskan produsen pangan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat menaati ambang batas migrasi BPA yang ditetapkan sebesar 0,6 mg/kg. BPOM mengecek kepatuhan industri atas aturan yang sifatnya self-regulatory tersebut dengan menggelar audit secara rutin.
Baca Juga: Waduh! BPOM Temukan Lebih dari 1.000 Produk Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia
Hasil pemantauan BPOM per Februari 2022 menyebut level migrasi BPA pada galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat "menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan", baik pada sarana produksi maupun distribusi. Ini peringatan pertama dari BPOM setelah dalam rentang enam tahun sebelumnya lembaga menyatakan level migrasi BPA pada galon guna ulang masih di bawah ambang batas berbahaya.