Trauma Masa Kecil Berisiko Memicu Penyakit Multiple Sclerosis, Begini Penjelasannya!

Rabu, 06 April 2022 | 11:32 WIB
Trauma Masa Kecil Berisiko Memicu Penyakit Multiple Sclerosis, Begini Penjelasannya!
Ilustrasi trauma (Unsplash)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dampak trauma masa kecil dapat bertahan seumur hidup. Para korban juga menghadapi rasa sakit nyata, baik fisik maupun mental.

Kini, sebuah studi terhadap hampir 78.000 wanita Norwegia menunjukkan trauma masa kecil akibat perilaku buruk seperti pelecehan seksual, emosional dan fisik, dapat menjadi faktor risiko multiple sclerosis (MS).

Multiple sclerosis merupakan penyakit autoimun yang memengaruhi saraf pada otak, mata, dan tulang belakang, lapor Science Alert.

Pada MS, sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang sel-sel saraf, menghancurkan lapisan mielin pelindung yang mengelilinginya.

Baca Juga: Multiple Intellegence, Mengenali Macam-Macam Kecerdasan Manusia

Kondisi tersebut dapat menyebabkan nyeri kronis, kejang otot, mati rasa, hingga kehilangan kemampuan penglihatan.

Ilustrasi trauma (Shutterstock)

Dalam studi ini, peneliti menemukan wanita yang mengalami pelecehan emosional dan seksual sebelum usia 18 tahun memiliki peningkatan risiko MS di msa depan.

Dari 300 wanita penderita MS, hampir satu dari empatnya melaporkan pernah mengalami pelecehan di masa kanak-anak.

Hubungan paling menonjol antara trauma dan MS terlihat pada wanita korban pelecehan seksual (dengan peningkatan risiko 65%), dan wanita yang mengalami lebih dari satu jenis trauma (peningkatan risiko 66% hingga 93%).

Peneliti menduga alasannya karena trauma dapat merangsang respons stres tubuh secara berlebihan dan menganggu sistem kekebalan tubuh, membuat tubuh mengalami stres kronis dan peradangan yang dapat memicu MS.

Baca Juga: Orang Rentan yang Pernah Terinfeksi Virus Herpes Epstein-Barr Berisiko Mengembangkan Multiple Sclerosis

Tetapi, peneliti menekankan bahwa studi observasional ini tidak dapat menentukan penyebab dan hanya bisa menunjukkan hubungan.

Meski begitu, studi ini tetap menjadi pengingat penting untuk mencegah pengalaman traumatis di masa kanak-kanak agar mereka memiliki kehidupan yang lebih baik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI