Suara.com - Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto diduga telah melanggar kode etik kedokteran, yang berbuntut pada pemberhentiannya sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia atau IDI.
Terawan juga disebut tidak memiliki itikad baik dengan menjelaskan dan mengabaikan panggilan komisi etik IDI, yakni Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) terkait dugaan pelanggaran etik yang ia lakukan.
Dugaan pelanggaran etik itu meliputi tidak menghiraukan undangan diskusi MKEK IDI, mengiklankan diri secara berlebihan, menjanjikan kesembuhan dalam praktik DSA brainwashing (cuci otak), dan menarik bayaran dalam jumlah besar pada tindakan medis yang belum ada dasar ilmiahnya atau evidence based medicine (EBM).
Menanggapi hal tersebut, Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI Dr. dr. Beni Satria, MH(Kes) menyinggung perbedaan dukun atau paranormal dengan dokter yang berlandaskan kaidah ilmiah.
Baca Juga: Komisi IX DPR Minta Masalah Terawan dan IDI Diselesaikan Secara Kekeluargaan
"Yang membedakan dokter dengan dukun atau paranormal, karena apa yang dijelaskan oleh dokter harus berbasis pada basis ilmiah, harus ada pembuktian ilmiah dan empirisnya dan itu dibuktikan di persidangan akademik, sesuai dengan tingkatannya, publikasi ilmiahnya," ujar Bedi dalam acara diskusi khusus dengan Suara.com, Sabtu (3/4/2022).
Ia mengatakan dasar ilmiah berbeda dengan testimoni atau klaim dari perorangan. Dasar ilmiah memerlukan perhitungan matang dan berdasarkan ilmu pengetahuan sains yang bisa dipertanggungjawabkan.
"Sehingga masyarakat tidak dijelaskan hanya dengan testimoni satu atau dua yang berhasil tapi ada 100 orang yang tidak berhasil," ujar dokter yang fokus pada masalah etik kedokteran Indonesia ini.
Ini jugalah yang menurut Beni, menjadikan dokter sebagai profesi yang luhur dan mulia, karena tidak asal dan penuh perhitungan saat melakukan tindakan atau pengobatan medis.
"Hal inilah yang harus ditata dan dipahami oleh masyarakat, kami ini bukan paranormal atau dukun yang mengatakan hal-hal di luar science based," jelas Beni.
Baca Juga: IDI Buka Suara Terkait Isu Ricuh Muktamar di Aceh Serta Deretan Berita Hits Kesehatan Lainnya
Adapun terkait terapi cuci otak atau DSA yang selama ini jadi andalan Terawan dalam mengatasi masalah stroke iskemik, dikatakan Beni bukanlah ranah IDI, tapi ranah akademis atau para dokter di akademisi atau universitas yang melakukan pengujian.
"Ranah organisasi profesi hanya mengumpulkan, dan meminta klarifikasi pembuktian bahwa tindakan itu ada jurnal yang terbukti ilmiah," tutur dokter yang jadi Jubir Muktamar IDI ke-31 itu.
Namun hingga kini, Beni mengakui pihaknya belum mendapatkan dokumen pembuktian terapi DSA atau cuci otak, yang dilakukan di ranah akademis atau universitas tempat ia melakukan penelitian.
"Kita hanya minta dokumen itu, dan kita sudah pernah minta dokumennya, kita pernah layangkan surat resmi, kita sudah adakan forum, tetapi yang bersangkutan tidak memanfaatkan itu dan tidak menggubris," tutup Beni.
Sekadar informasi, hasil Muktamar IDI ke-31 menetapkan Terawan diberhentikan sebagai anggota IDI, dan IDI diminta mengeksekusi putusan tersebut dalam 28 hari setelah putusan Muktamar dikeluarkan.