Suara.com - Di saat banyak negara alami penurunan kasus Covid-19, Hongkong justru sedang berjibaku dengan lonjakan kasus kematian. Dampaknya, otoritas kesehatan menyebut terjadi kelangkaan peti mati kayu.
Jumlah kematian yang sudah menelan korban sebanyak 6.000 orang dalam satu tahun terakhir memaksa Hongkong mengganti peti mati kayu dengan peti mati kardus.
Penawaran peti mati kardus ini ditawarkan perusahaan produsen peti mati sebagai alternatif, karena lebih ramah lingkungan.
Apalagi karena keterbatasan ruangan atau wilayah, praktik kremasi untuk menguburkan pasien Covid-19 yang meninggal jadi pemandangan yang umum.
Baca Juga: Studi: Pemberian Tiga Dosis Vaksin Sinovac Cegah Dampak Terburuk Saat Gelombang Omicron di Hong Kong
Sehingga untuk menjawab kelangkaan peti mati kayu, maka ditawarkan peti mati kardus, sebelum akhirnya abu kremasi ditaburkan di lepas pantai dataran China.
Adapun umumnya peti mati di Hongkong terbuat dari serat kayu daur ulang, yang desain dalam dan luarnya bisa disesuaikan. Seperti misalnya LifeArt Asia yang mampu membuat 50 peti mati sehari.
Sayangnya, CEO LifeArt, Wilson Tong mengatakan masih banyaknya penolakan membuat peti mati kardus, karena dianggap menggunakan kertas sebagai peti mati, dan dinilai kurang menghormati orang yang meninggal dan dicintai.
Meski begitu kata Tong, pihaknya tetap bisa membuat peti mati kardus yang desainnya disesuaikan, bahkan bisa memiliki warna peti sesuai keinginan.
"Ini akan memberikan pilihan yang lebih dari cukup kepada orang-orang, agar menawarkan pemakaman dan perpisahan yang lebih menyenangkan," kata Tong, mengutip Insider, Selasa (29/3/2022).
Baca Juga: Kasus Aktif Covid-19 di Karawang Berkurang, Kasus Kematian Bertambah Empat Jadi 2020 Orang
Perusahaan juga mengklaim, peti mati yang terbuat dari kardus, akan mengeluarkan 87 persen lebih sedikit gas rumah kaca dibandingkan peti mati kayu.
Adapun setiap peti mati buatan LifeArt punya berat sekitar 10,5 kilogram, dan dapat menampung tubuh dengan berat mencapai 200 kilogram.