Suara.com - Menparekraf Sandiaga Uno sempat menyebut bahwa hampir 1,2 juta wisatawan atau 699 ribu health tourism di Malaysia ternyata adalah orang Indonesia. Hal itu karena di Indonesia masih belum banyak destinasi berfokus pada medical tourism, wellnes tourism, sport tourism serta sains tourism.
Oleh karena itu, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) dr Daeng M Faqih meminta pemerintah daerah di Aceh mulai pengembangan wisata kesehatan.
“Kalau boleh saya menantang lagi sama Aceh, barang kali wisata kesehatan, ayo lah mulai lagi dari Kota Serambi Mekkah ini,” kata Daeng, pada pembukaan Muktamar Ke-33 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Muktamar Ke-22 Ikatan Istri Dokter Indonesia (IIDI) seperti dikutip dari ANTARA.
Menurut dia, IDI dan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) juga sedang menggarap pengembangan wisata kesehatan, dalam upaya membendung aliran devisa negara pada sektor kesehatan ke negara tetangga.
Baca Juga: Bawa 2.400 Liter Solar Subsidi, 2 Pria di Aceh Ditangkap
Oleh karena itu, menurut Daeng, Aceh memiliki potensi yang besar untuk pengembangan ini, mulai dari sektor pariwisata, kesenian, kuliner hingga kearifan lokal yang perlu dikembangkan dalam konsep wisata kesehatan.
“Dan lagi, di daerah sepanjang Aceh, Sumatera Utara itu yang potensi yang berobat ke (negara) tetangga kita, sehingga kalau dimulai dari Aceh dilakukan kegiatan itu, maka devisa kita tidak hilang,” katanya.
IDI dan pemerintah, katanya, sudah berkomitmen untuk memulai strategi wisata kesehatan agar pelayanan, sumber daya dokter, hingga teknologi pelayanan kedokteran di Indonesia bisa berdaya saing dengan negara lain.
“Minimal dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, yang sudah lama memulai strategi wisata kesehatan,” katanya.
Apalagi, kata dia, masih banyak yang menilai kesenjangan atau gap kemajuan teknologi 4.0, pelayanan teknologi kedokteran di Tanah Air kalah dengan negara lain, sehingga rakyat harus mencari pengobatan ke negara lain yang dianggap lebih baik dari sisi pelayanan, teknologi hingga kompetensi.
“Terakhir mantan presiden kita juga terpaksa mencari pengobatan ke negeri lain. Hal ini tidak perlu kita tersinggung, tapi justru menjadi koreksi bagi kita,” kata Daeng.