Suara.com - Pengentasan stunting alias kekerdilan perlu mendapat perhatian serius. Target penurunan angka prevalensi stunting 3,4 persen per tahun perlu dikejar, salah satu caranya dengan belajar kepada negara lain.
“Untuk bisa menekan laju stunting sampai dengan 3,4 persen, beberapa best practice yang kita pelajari di beberapa negara juga sudah menunjukkan bahwa mereka sanggup menekan prevalensi itu,” kata Plt. Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN Irma Ardiana dalam Webinar Kick-Off Audit Kasus Stunting.
Irma menuturkan salah satu negara yang dapat dicontoh oleh Indonesia adalah Peru yang mampu menurunkan angka prevalensi hingga 4,25 persen per tahun. Pada penanganan kekerdilan baduta di daratan Amazon di Peru, pemerintah terus melakukan intervensi dengan fokus pada keluarga miskin.
Pemerintahnya juga membuat sebuah skema insentif finansial yang diberikan kepada para ibu untuk memeriksakan tumbuh kembang anak ke fasilitas kesehatan.
Baca Juga: Aceh Jadi Salah Satu dari 12 Provinsi Kasus Stunting Tertinggi di Indonesia
Kesejahteraan bagi ibu dan anak dalam mengakses sanitasi yang bersih, juga dijalankan melalui program Water Sanitation and Hygiene (WASH). Bahkan negara memberikan dukungan psikososial terhadap tumbuh kembang baduta.
Berbeda dengan Peru yang fokus pada keluarga miskin, Negara Bolivia justru fokus meminta ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya secara rutin, juga memiliki makanan pendamping ASI (MP ASI) yang sudah terfortifikasi.
Selain turut memperkuat program WASH, Bolivia memiliki mendirikan pertanian keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan sayuran serta protein bagi ibu dan anak. Membuat negara tersebut mampu menurunkan angka prevalensi sebanyak 2,5 persen per tahun.
Dikarenakan kekerdilan erat kaitannya dengan konsumsi protein hewani, Irma mengatakan Indonesia bisa meniru Korea Utara yang menginisiasi adanya kegiatan konsumsi protein hewani satu telur per hari.
Korea Utara juga melakukan outreach melalui pemberian vitamin A, obat cacing dan bubuk vitamin taburia pada ibu yang memiliki bayi usia 6-23 bulan dua kali per tahunnya.
Baca Juga: Wali Kota Tjhai Chui Mie Imbau Gadis Singkawang Tak Menikah di Bawah 21 Tahun
“Posisinya mereka di tahun 2017 sudah 19,1 persen dan pada tataran ini, mereka sudah bisa mengendalikan karena sudah di bawah 20 persen angkanya. Rata-rata turun 1,78 persen per tahun di antara 2012 dan 2017,” ucap dia.
Irma berharap Indonesia bisa mencontoh sejumlah negara tersebut sehingga mampu mencapai target 14 persen di tahun 2024. Meskipun negara perlu melakukan percepatan penurunan kekerdilan 2,5 kali lebih banyak agar dapat menurunkan angka prevalensi kekerdilan sebanyak 3,4 persen per tahun.
“Oleh karenanya kita perlu melakukan semacam penyesuaian terhadap percepatan dari penurunan stunting hingga ke angka 14 persen di tahun 2024,” ujar dia.
Sebelumnya, data dari Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyatakan angka prevalensi kekerdilan di Indonesia turun menjadi 24,4 persen setelah pada tahun 2019 berada pada angka 27,7 persen di tahun 2019.
Kini pemerintah sedang gencar melakukan berbagai intervensi yang dapat menurunkan angka tersebut menjadi 14 persen di tahun 2024 sesuai target yang ditentukan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting di Indonesia. [ANTARA]