Suara.com - Sejak Rusia menyerang Ukraina, setiap hari kita terpapar berita tentang kondisi para korban maupun peristiwa perang itu sendiri, baik di media sosial maupun televisi.
Media sosial memang digunakan sebagai wadah untuk mendokumentasikan konflik bersenjata sejak dahulu, seperti perang Suriah yang dimulai sejak 2011, dan orang di seluruh dunia dapat mengaksesnya.
Meski tidak tampak dampak langsungnya, melihat video atau foto peristiwa traumatis dapat memengaruhi kesehatan mental penonton, terlepas dari sumbernya.
Studi oleh profesor ilmu psikologi dari University of California, Roxane Cohen Silver, mengungkap orang yang menonton liputan televisi empat jam sehari selama seminggu mengalami peningkatan stres dan gejala gangguan stres pasca trauma (PTSD).
Baca Juga: Konflik Internal Bikin Psikologis Mahasiswa SBM ITB Terguncang
Mereka juga berisiko lebih besar mengalami gangguan kesehatan yang terlihat bertahun-tahun kemudian, lapor Time.
Penelitian ini menunjukkan bahwa video atau gambar peristiwa traumatis bisa memiliki dampak yang sangat kuat pada orang-orang yang tidak terpengaruh perang secara langsung.
Jejaring sosial juga menjadi 'medan pertempuran' untuk menyebarkan informasi salah atau hoaks.
"Rusia telah mengobarkan media sosial dan perang informasi yang salah selama 10 hingga 12 tahun terakhir. Itu meningkat selama invasinya ke Ukraina," jelas penulis History, Disrupted: How Social Media and the World Wide Web Have Changed the Past, Jason Steinhauer.
Penyebaran berita palsu ini dapat memengaruhi kesehatan mental dengan menghilangkan indra realitas kita.
Baca Juga: Dampak Invasi Rusia ke Ukraina Terhadap Warga Sipil: dari Luka Psikologis hingga Sakit Kronis
"Mempertimbangkan kemungkinan Anda akan menemukan sesuatu yang secara emosional manipulatif dan tidak benar dapat berdampak psikologis," ujar pekerja sosial klinis berlisensi dari San Francisco, Masha Mykhaylova.
Contoh nyatanya adalah saat penyebaran informasi yang salah memperburuk kesehatan mental masyarakat selama pandemi Covid-19 sekarang ini.
Sebuah studi yang terbit di JAMA Network Open membuktikan bahwa orang yang memercayai berita palsu tentang vaksin melaporkan gejala depresi.
Untuk mengurangi risikonya, Cohen Silver mengatakan dia lebih memilih membaca daripada melihat gambar atau video yang dapat merusak psikologisnya.
Sementara Mykhaylova menyarankan untuk membatasi jumlah waktu yang dihabiskan untuk menonton berita dan memeriksa di media sosial.
Batas itu akan bervariasi dari orang ke orang dan melakukannya tidak boleh mengorbankan tidur, makanan, atau waktu di luar.