Suara.com - Kanker adalah penyakit tidak menular dengan angka insiden dan kematian yang tinggi dan terus meningkat setiap tahunnya sehingga perlu menjadi prioritas dan fokus semua pihak.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berhasil membuka akses bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk penyintas kanker, untuk mendapatkan penanganan dan perawatan atas kondisi kesehatan yang dialami.
Saat Ini, perkembangan teknologi pengobatan kanker terus memberikan peningkatan harapan dan kualitas hidup bagi penyintas kanker, namun di sisi lain Pemerintah mengalami keterbatasan pembiayaan untuk menambahkan berbagai pengobatan inovatif ke dalam cakupan JKN.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh The Swedish Institute for Health Economics (IHE) di tahun 2021, ditemukan bahwa negara dengan alokasi pembiayaan kanker yang lebih tinggi menunjukkan keberhasilan penanganan kanker yang lebih baik dibandingkan negara yang memiliki alokast pembiayaan kanker lebih rendah.
Baca Juga: Penelitian: Suplemen Vitamin E dan Selenium Bisa Tingkatkan Risiko Kanker Prostat
Oleh karena itu, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH mengatakan jika pengimplementasian pembiayaan kesehatan yang inovatif dapat menjadi salah satu solusi pendanaan kesehatan.
Hal ini tentu memerlukan kolaborasi dengan berbagai pihak sehingga dapat membantu pemerintah untuk memperluas cakupan pengobatan untuk seluruh masyarakat.
"Saat ini total belanja kesehatan indonesia masih di bawah rekomendasi WHO, yaitu 5% dari GDP (PDB} atau minimal 15% dari total APBN, dan lebih rendah dibandingkan beberapa negara Iain di Asia bahkan Asia Tenggara," ujar dia dalam diskusi bersama Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia (IEKI) beberapa waktu lalu.
Selain itu, lanjut dia dalam beberapa tahun terakhir, BPIS Kesehatan sebagai pengelola program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengalami defisit sejak beberapa tahun terakhir yang mendorong Pemerintah untuk mengurangi dan membatasi beberapa manfaat dalam cakupan JKN.
Pemerintah, tambah Prof Hasbullah seharusnya tidak hanya fokus mengurangi beban biaya dengan membatasi manfaat layanan pengobatan dalam program JKN, tapi jiga perlu segera mencari ide-ide inovatif untuk meningkatkan alokasi pembiayaan sehingga pasien pasien.
Baca Juga: Pajak dan Cukai Rokok Capai 173 Triliun, Pengamat: Bisa Dijadikan Sumber Pembiayaan Kesehatan Kanker
Terutama bagi para penyintas kanker, agar bisa dapat memperoleh layanan terapi kanker yang paling optimal dan memberikan harapan hidup lima tahun lebih panjang serta kualitas hidup yang lebih baik.
Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.B.A. M.Kes, Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajement Asuransi Kesehatan (Pusat KPMAK) UGM; menjelaskan, untuk mengatasai masalah keterbatasan biaya kesehatan, Pemerintah perlu segera mencari solusi strategis, salah satunya dengan mengoptimaikan sumber-sumber dana yang ada untuk dialokasikan ke sektor kesehatan.
“Sebenarnya, Pemerintah sudah mulai menerapkan hal ini dengan mengalokasikan sebagian dari pajak rokok dan cukai tembakau yang diterima Pemerintah Daerah untuk sektor kesehatan. Namun, di tahun 2021, alokasi dana untuk sektor kesehatan tersebut turun dari 50% menjadi 25%," ungkap dia.
Pihaknya berharap Pemerintah Pusat dapat merealokasi kembali aona untuk sektor kesehatan menjadi 50% atau memberikan fleksibiltas penggunaan dana pajak rokok dan cukai tembakau untuk pengembangan sektor kesehatan di tingkat daerah.
Selain itu, ia juga merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menyusun panduan teknis inovasi penggunaan pajak rokok don cukai tembakau di sektor kesehatan, misal untuk optimalisasi pembelanjaan obat dan alat kesehatan termasuk obat inovatif kanker yang pada akhirnya akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat yang kita layani.
drg. Putih Sari, Anggota Komisi IX DPR RI menambahkan, Pemerintah perlu meninjau kembali tujuan awal Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu untuk mencapai cakupan Kesehatan semesta. Hal ini bukan hanya berbicara tentang cakupan jumlah kepesertaan, tapi juga cakupan layanan yang diberikan.
Di antaranya yaitu dapat menjamin akses ke layanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang sama pentingnya, berkualitas dan efektif tanpa menimbulkan beban biaya individu.
"Kami mendorong Kementerian Kesehatan RI dan seluruh pihak terkait untuk mempermudah akses obat inovatif kanker dalam program JKN, terutama untuk kanker paru yang paling mematikan," kata dia.
Ia menambahkan bahwa pihaknya juga mendorong Pemerintah untuk menerapkan inovasi pembiayaan kesehatan sehingga perluasan terhadap akses pengobatan inovatif kanker tidak terbentur masalah keterbatasan biaya.
Salah satu inovasi pembiayaan yang dapat dijajaki dalam waktu dekat, lanjut drg. Putih adalah dengan membuka ruang kolaborasi yang lebih luas dengan berbagai pihak, antara lain produsen obot dan asuransi swasta.
"Misal dengan menyediakan beberapa skema harga dalam program JKN seperti yang sebelumnya pernah diterapkan untuk obat kanker melalui sistem risk sharing atau mekanisme inovatif lainnya," tutup dia.