Suara.com - Kasus lumpy skin disesae (LSD) atau penyakit kulit benjol baru-baru ini terdeteksi di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau. Situasi tersebut juga membuat pihak Australia waspada, mengingat secara geografis Indonesia berdekatan. Demikian seperti dilansir dari ABC.
Dalam keterangannya Kementerian Pertanian melalui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Nasrullah, mengatakan siap mengerahkansumber daya untuk menangani penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) pada sapi itu.
Dikutip dari situs resmi Balai Besar Veteriner Wates, Lumpy Skin Disease adalah penyakit kulit infeksius yang disebabkan oleh Lumpy Skin Disease Virus (LSDV). Virus tadi merupakan materi genetik DNA dari genus Capripoxvirus dan famili Poxviridae.
Penularan LSD secara langsung melalui kontak dengan lesi kulit, namun virus LSD juga diekskresikan melalui darah, leleran hidung dan mata, air liur, semen dan susu. Penularan juga dapat terjadi secara intrauterine. Secara tidak langsung, penularan terjadi melalui peralatan dan perlengkapan yang terkontaminasi virus LSD seperti pakaian kandang, peralatan kandang, dan jarum suntik.
Baca Juga: Harga Daging Sapi di Bandung Berpotensi Tembus Rp 150 Ribu per Kilogram, Disdagin Lakukan Ini
Penularan secara mekanis terjadi melalui vektor yaitu nyamuk (genus aedes dan culex), lalat (Stomoxys sp, Haematopota spp, Hematobia irritans), migas penggigit dan caplak (Riphicephalus appendiculatus dan Ambyomma heberaeum).
Lantas, apakah LSD bisa menular ke manusia? Dikutip dari dokumen Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) lumpy skin disease tidak menyerang manusia
Sebagai informasi, LSD pertama kali dilaporkan di Zambia, Afrika pada tahun 1929 dan terus menyebar di benua Afrika, Eropa dan Asia. Pada tahun 2019, LSD dilaporkan di China dan India lalu setahun setelahnya dilaporkan di Nepal, Myanmar dan Vietnam. Pada tahun 2021, LSD telah dilaporkan di Thailand, Kamboja dan Malaysia.