Olahraga Pagi Hari di Area Jabodetabek Justru Bahaya Bagi Kesehatan, Mengapa?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 02 Maret 2022 | 14:18 WIB
Olahraga Pagi Hari di Area Jabodetabek Justru Bahaya Bagi Kesehatan, Mengapa?
ilustrasi olahraga (Unsplash)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masih banyak salah anggapan di masyarakat Jabodebek yang berpikir bahwa udara pagi lebih baik dibanding waktu lain. Anggapan tersebut muncuk  karena dianggap udara masih terasa sejuk, kondisi lalu lintas masih sepi, dan minim polusi udara.

Tak mengherankan bila animo masyarakat berolah raga besar pada pagi hari (sekitar jam 05.00-09.0), termasuk saat pandemi Covid-19. Padahal berdasarkan hasil riset Nafas sepanjang 2021 menunjukkan, AQI Jabotabek pada pagi hari antara jam 04.00-09.00 masih cukup tinggi sekitar 100-160, yang menunjukkan kualitas udara relatif tidak baik.

Ini artinya, pagi hari bukan waktu terbaik untuk berolahraga. Justru saat itu masyarakat di Jabotabek disarankan tidak melakukan aktivitas di luar rumah.

Menurut Prabu Setyaji, Data Scientist dari Nafas, bagi seseorang yang berumur antara 35-45 tahun yang berolahraga pada pagi hari saat kadar PM2.5 > 26 µ/m3 justru berbahaya karena berisiko menimbulkan penyakit jantung. Sebagai catatan, ambang batas aman menurut WHO (2021) adalah PM2.5 = 5 µ/m3.

Baca Juga: Penyakit Hati: Gejala dan Tahapan Perkembangan Sakit pada Organ Liver

Ilustrasi olahraga (unsplash.com/@stevenabraham)
Ilustrasi olahraga (unsplash.com/@stevenabraham)

“Bisa meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 33 persen,” ujarnya seraya menyebutkan bahwa kualitas udara paling baik di Jabotabek terjadi pada jam 14.00. Kualitas udara semakin membaik ketika terjadi hujan besar yang disertai angin kencang hingga ekstrim.

Kualitas udara di area hijau yang banyak tumbuh pepohonan ternyata tidak selalu bersih atau bebas dari polusi udara, khususnya yang disebabkan oleh polutan berukuran sangat kecil (PM2.5). Kesimpulan tersebut terungkap dalam hasil riset Nafas, startup penyedia aplikasi pengukur kualitas udara, sepanjang Januari-Desember 2021.

Nafas memasang tiga sensor pengukur kualitas udara di tiga lokasi, yakni Bumi Serpong Damai (BSD), Cibinong dan Sentul City. Ketiga daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang (Jabodetabek) tersebut merupakan area yang dikelilingi oleh daerah hijau.

Namun data Nafas menunjukkan, indeks kualitas udara (AQI) di ketiga wilayah tersebut cukup tinggi di atas 100. Angka AQI di atas 100 menunjukkan kualitas udara relatif tidak sehat bagi kelompok usia tertentu.

“Itu menunjukkan ketiga daerah tersebut tidak bebas dari polusi,” kata Co-founder & Chief Growth Officer Nafas, Piotr Jakubowski dalam Media Briefing bertajuk “Nafas Air Quality Report 2021” yang diselenggarakan Nafas, Bicara Udara dan Katadata Insight Center, Rabu, (3/2/2022). 

Baca Juga: Ketahui Dampak Buruk Bullying, Pengalaman Buruk yang Membuat Ayu Aulia Mengalami Penyakit Mental

Menurut Piotr, banyaknya pepohonan sebenarnya kurang berdampak membuat udara menjadi bersih dan segar. Sebab pada dasarnya daun-daun di pohon tak bisa menyerap debu. Daun hanya mampu menyerap gas, sehingga tak bisa secara signifikan membersihkan debu PM2,5 yang ada di udara. “Jadi, pepohonan tidak bisa memfilter polusi PM 2.5,” ujar dia.

Piotr merujuk studi David J. Nowak et.al (2013). Hasil studi Nowak, kata dia, menunjukkan, penanaman pohon di 10 kota Amerika Serikat dengan tingkat PM 2.5 yang tinggi tidak signifikan mengurangi polusi PM2.5, yakni hanya sebesar 0,05 persen-0,24 persen setahun.

Berdasarkan data Nafas tersebut, kata Piotr, keliru apabila kebijakan pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia memperbaiki kualitas udara hanya dengan cara menanam banyak pepohonan. “Bisa dibilang penanaman pohon hampir tidak ada dampaknya mengurangi PM 2.5,” kata dia,”dengan kata lain tidak berdampak signifikan untuk menyegarkan kualitas udara.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI