Suara.com - Belajar dari fenomena minyak goreng, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) tidak akan terjadi penimbunan obat Covid-19 atau mafia obat selama lonjakan kasus Omicron.
Ketua GPFI, Tirto Kusnadi potensi penimbunan obat Covid-19 tidak akan terjadi karena produksi dan distribusi dilakukan secara paralel, alias banyak pihak yang memproduksi obat tersebut.
"Kami nggak pernah melihat anggota GP ada mafia obat. Produksi obat ini semua adalah berbasis supply and demand. Jadi kalau produsen banyak dan tersedia, kalaupun ada yang menimbun ia bisa mati tertimbun barang itu sendiri," ujar Tirto dalam acara diskusi di Senayan, Jakarta (25/2/2022).
Tirto juga menjelaskan, potensi terjadinya penimbunan karena produsen dan jalur distribusinya yang terbatas, sehingga sangat berpotensi mengatur harga suatu barang.
Baca Juga: Hadapi Lonjakan Varian Omicron, Perusahaan Farmasi Pastikan Stok Obat Covid-19 Saat Ini Aman
Sedangkan kondisi ini sangat berbeda dengan produksi obat Covid-19, yang terdiri dari berbagai elemen seperti jumlah produsennya banyak bahkan mencapai 160 pabrik farmasi yang memproduksi sekitar 2.000 jenis obat.
Selain itu di GPFI juga terdiri dari 1.600 pedagang besar farmasi (PBF) yang menyalurkan ke lebih dari 15.000 klinik dan puskesmas, 3.000 rumah sakit, 17.000 apotek, dan 5.000 toko obat.
"Dengan sebanyak itu jumlahnya, maka pihak yang menimbun akan dihabisi oleh produsen lain. Jadi mafia obat itu nggak ada," tegas Tirto.
GPFI sendiri menguasai lebih dari 88 persen peredaran obat di Indonesia. Sedangkan pasokan ke rumah sakit seluruh Indonesia, GPFI memasok lebih dari 85 persen di kuartal ke-2 di 2021.
Adapun beberapa obat Covid-19 dan vitamin yang sudah diproduksi GPFI untuk penanganan pandemi, seperti vitamin C 500 mg, vitamin D 1000 IU, Favipiravir 200 mg tablet, vitamin C 200 mg injeksi, Deksametason injeksi 5 mg, dan vitamin B1 injeksi.
Baca Juga: Kabar Baik, Movfor Obat Covid-19 Mulai Dipasarkan di Indonesia