Profesor Amin Soebandrio: 45 Persen Proses Mutasi Malah Sebabkan Virus Menjadi Mati

Kamis, 24 Februari 2022 | 16:40 WIB
Profesor Amin Soebandrio: 45 Persen Proses Mutasi Malah Sebabkan Virus Menjadi Mati
Ilustrasi mutasi: Gambar mengerikan terkait mutasi virus Corona yang kini mampu menumbuhkan tentakel. (Dok. Dr. Elizabeth Fischer, NIAID/NIH)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mutasi merupakan hal yang normal yang terjadi pada virus agar bisa bertahan hidup. Begitu pula yang terjadi pada virus corona SARS Cov-2, penyebab infeksi Covid-19.

Pakar mikrobiologi Universitas Indonesia Profesor dr. Amin Soebandrio, PhD., menjelaskan bahwa mutasi tidak selalu menguntungkan bagi virus. Bahkan sebagian besar, justru perubahan struktur itu malah melemahkan virus.

"Tidak semua mutasi menguntungkan virus, 45 persen dari mutasi itu menyebabkan virusnya mati, 30 persen menyebabkan virus tambah banyak, 20 persen mutasi tidak menyebabkan perubahan apa-apa, dan hanya 4 sampai 5 persen dari mutasi itu yang kemudian menyebabkan virus makin fit artinya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Jadi dia bisa bertahan," papar Profesor Amin, dalam webinar bersama Bank DBS Indonesia, Kamis (24/2/2022).

Sebagian kecil mutasi virus itu lah yang akhirnya mampu melewati serangan dari antibodi dalam tubuh juga terapi pengobatan yang dilakukan. Apabila virus terus bertahan dan orang yang terinfeksi Covid-19 itu tidak melakukan isolasi, maka bisa menularkan kepada orang lain.

Baca Juga: 95 Tenaga Kesehatan di Gunungkidul Terpapar Covid-19, Pelayanan Puskesmas Tetap Jalan

"Itu berjalan terus menyebabkan varian-variannya juga berubah," ujarnya.

Profesor Amin menambahkan, omicron termasuk varian yang struktur virusnya paling berbeda dengan yang lain, termasuk virus SARS Cov-2 asli yang ditemukan di Wuhan, China.

Omicron punya kemampuan lebih cepat menular, bahkan melebihi delta, karena adanya perubahan struktur s-spike. Mantan Kepala Lembaga Biologi Molekuker Eijkman itu menjelaskan, s-spike merupakan duri yang ada mengelilingi tubuh virus.

"Fungsinya untuk menempel pada reseptor ACE2 pada sel manusia. Perubahan itu menyebabkan virus masuk ke dalam tubuh manusia lebih cepat. Tetapi dengan adanya mutasi itu juga ternyata omicron tidak menyebabkan morbiditas. Artinya kesakitan yang tinggi tidak menyebabkan gejala klinis berat," paparnya.

Menurutnya, kemungkinan mutasi virus corona selanjutnya bisa jadi juga lebih lemah. Karena didorong juga dengan sistem imun manusia yang lebih kebal karena vaksin dan antibodi alami pada penyintas Covid-19.

Baca Juga: Kemenkes Ungkap Perbedaan Penanganan Lonjakan Kasus Covid-19 Varian Delta dan Omicron

"Kita berharap nanti evolusi berikutnya bukan lagi virus manusia, tapi menjadi virus hewan. Misalnya manusia hanya bisa tertular kalau kondisinya lemah  jadi mirip seperti influenza," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI