Suara.com - Terdakwa pelaku kasus kekerasan seksual terhadap 13 santri di Cibiru, Bandung, Herry Wirawan divonis hukuman penjara seumur hidup.
Vonis tersebut dijatuhkan oleh Majelis Hakim PN Bandung dalam sidang yang diselenggaran Selasa (15/2) kemarin.
Terdakwa yang juga seorang pendidik dan pemilik pondok pesantren itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah memperkosa belasan anak didiknya.
Beberapa di antaranya bahkan ada yang sampai hamil dan melahirkan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) angkat suara terkait vonis tersebut yang berbeda dengan tuntutan jaksa. Pada sidang tuntutan, jaksa penuntut umum meminta pelaku dihukum mati dan kebiri.
“KemenPPPA menghormati putusan penjara seumur hidup meski putusan Hakim tidak sama dengan tuntutan JPU. Saya mengharapkan setiap vonis yang dijatuhkan Hakim dapat menimbulkan efek jera, bukan hanya pada pelaku, tapi dapat mencegah terjadinya kasus serupa berulang," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/02/2022).
Selain itu, Majelis Hakim juga membebankan restitusi, atau ganti rugi, kepada KemenPPPA terhadap anak dari para korban pemerkosaan terdakwa sebesar Rp 331.527.186.
Menteri Bintang menyampaikan bahwa biaya ganti rugi itu masih akan menunggu hingga persidangan terdakwa mencapai incracht atau berkekuatan hukum tetap.
"Terhadap penetapan restitusi masih menunggu putusan yang incracht dan saat ini KemenPPPA akan membahasnya dengan LPSK," ucapnya.
Meski begitu, menurut Menteri Bintang, putusan Hakim terhadap penetapan restitusi tidak memiliki dasar hukum. Dalam kasus ini, KemenPPPA tidak dapat menjadi pihak ketiga yang menanggung restitusi.
Merujuk pada Pasal 1 UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud dengan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, bukan dibebankan kepada negara.
Di samping restitusi, Majelis Hakim juga menetapkan sembilan orang korban dan anak korban diserahkan perawatannya kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat, dengan dilakukan evaluasi secara berkala.
Jika dalam waktu tertentu para korban dan anak korban dinilai sudah pulih secara fisik dan mental, maka akan dikembalikan kepada keluarganya.