Suara.com - Para ilmuwan di dunia telah melakukan uji coba 'tantangan manusia' terhadap Covid-19 untuk pertama kalinya.
Dalam penelitian tersebut, sejumlah sukarelawan sengaja dibuat terpapar Covid-19 agar para ilmuwan bisa lebih memahami penyakit infeksi baru tersebut.
Sukarelawan terdiri dari kelompok orang dewasa muda yang sehat. Para pemimpin penelitian mengklaim kalau hasil uji coba sampai saat ini masih aman.
Uji coba tantangan manusia itu sebenarnya bukan hal baru. Para ilmuwan telah menggunakan uji coba langsung kepada manusia selama beberapa dekade untuk mempelajari lebih lanjut penyakit seperti malaria, flu, tipus, dan kolera.
Baca Juga: Pertama Kali Terekam, Paus Pembunuh Berhasil Memangsa Paus Biru
Hasil dari uji coba kemudian digunakan untuk mengembangkan pengobatan dan vaksin dalam penanganan penyakit-penyakit tersebut.
Open Orphan, lembaga yang menjalankan uji coba tersebut, pertama kali memulai penelitian pada Februari 2021 bersama Imperial College London, satuan tugas vaksin pemerintah Inggris dan perusahaan klinis VIVO.
Uji coba Imperial dilakukan kepada 36 sukarelawan laki-laki dan perempuan sehat berusia 18 hingga 29 tahun. Mereka diinfeksi virus corona SARS-CoV-2 asli. Kemudian dipantau dalam pengaturan karantina.
Setelah itu, para sukarelawan ditindaklanjuti selama 12 bulan pasca keluar dari karantina.
Hasil tindak lanjut selama ini, peneliti tidak menemukan adanya efek samping serius yang terjadi. Model studi tantangan manusia terbukti aman dan dapat ditoleransi dengan baik pada orang dewasa muda yang sehat.
Baca Juga: Kasus Aktif COVID-19 Capai 400, Pemda DIY Siapkan Empat Isoter
"Orang-orang dalam kelompok usia ini diyakini sebagai pendorong utama pandemi dan penelitian ini, yang mewakili infeksi ringan."
"Sehingga memungkinkan penyelidikan terperinci terkait faktor-faktor yang bertanggung jawab atas infeksi dan penyebaran pandemi," kata Chris Chiu, kepala penyelidik dalam uji coba dan profesor penyakit menular di Imperial, dikutip dari Channel News Asia.
Dari 36 sukarelawan yang terpapar Covid-19, ternyata tidak seluruhnya memiliki hasil positif tes PCR. Sebanyak 16 orang tetap dinyatakan negatif Covid-19 meski telah dipapar virus.
Beberapa responden itu sebenarnya memiliki virus yang terdeteksi di hidungnya, tetapi hasil tes PCR Covid-19 tetap negatif.
Sedangkan, para responden dengan hasil positif Covid-19 mengalami gejala dengan tingkat keparahan beragam.
Para peneliti menemukan bahwa gejala mulai muncul rata-rata sekitar dua hari setelah kontak dengan virus. Kemunculan itu terbilang lebih awal dari hitungan sebelumnya kalau virus corona memiliki masa inkubasi sekitar lima hari.
Gejala infeksi pertama kali muncul di tenggorokan. Sedangkan puncak penyebaran virus dan menularkan sekitar lima hari setelah infeksi, waktu di mana gejala paling signifikan terlihat, kata para peneliti. Pada tahap itu, virus secara signifikan lebih banyak di hidung daripada tenggorokan.
Mereka juga menemukan bahwa tes aliran lateral, indikator yang dapat diandalkan, untuk melihat apakah ada virus menular dan oleh karena itu orang tersebut kemungkinan besar dapat menularkan virus. Kebanyakan orang memiliki virus hidup di hidung selama rata-rata 6,5 hari.
Dari 18 sukarelawan yang terinfeksi, 16 di antaranya mengalami gejala seperti pilek ringan hingga sedang, seperti hidung tersumbat atau berair, bersin, dan sakit tenggorokan.
Beberapa mengalami sakit kepala, nyeri otot atau sendi, kelelahan dan demam. Tercatat, tidak ada yang mengalami gejala serius.
Sementara itu, 13 orang mengalami kehilangan indera penciuman. Tetapi kembali normal dalam waktu 90 hari.
Namun, ada tiga peserta yang masih menunjukkan peningkatan gangguan tersebut setelah tiga bulan terinfeksi.
Terkait kondisi paru-paru tidak ada perubahan atau efek samping yang serius. Hanya satu orang yang memiliki gejala menetap selama enam bulan berupa indera penciuman yang sedikit berkurang.
Percobaan dilakukan dengan menginfeksi sukarelawan menggunakan dosis terendah virus. Meski begitu, tim mengatakan kalau infeksi yang dihasilkan sebanding dengan infeksi alami.
Para peneliti Inggris itu mengatakan, mereka sekarang berencana untuk memulai penelitian serupa menggunakan varian Delta. Kemudian akan membagikan metode penelitian ke seluruh dunia agar dilakukan penelitian serupa.
Tindakan tersebut dinilai dapat menjadi rute penting untuk menguji vaksin, antivirus, dan diagnostik baru terhadap Covid-19 agar lebih cepat, terutama jika tingkat penularan makin turun.
Uji coba tantangan manusia menggunakan Covid-19 varian Delta rencananya akan dilakukan pada akhir 2022.