Dokter Ungkap untuk Tangani Varian Omicron, Butuh Kombinasi Obat Antibodi

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Senin, 17 Januari 2022 | 17:00 WIB
Dokter Ungkap untuk Tangani Varian Omicron, Butuh Kombinasi Obat Antibodi
Obat Covid-19, Molnupiravir dikembangkan oleh perusahaan farmasi Merck & Co. Obat ini telah diizinkan untuk digunakan di Inggris. [AFP/Merck]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Varian Omicron yang menjadi penyebab kenaikan kasus COVID-19 dalam beberapa pekan terakhir tidak bisa ditangani menggunakan satu jenis obat saja.

Pakar mengatakan untuk bisa mengalahkan varian Omicron, dibutuhkan kombinas obat antibodi yang tepat.

"Strategi penanganan bila bertemu varian baru yakni menggunakan kombinasi, jadi tidak menggunakan satu antibodi monoklonal," ungkap Dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, SpPD, K-P, FINASIM, KIC dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, mengutip ANTARA.

Dokter Ceva yang berpraktik di RSUPN Ciptomangunkusumo, Jakarta itu mengatakan, monoklonal antibodi kombinasi bekerja untuk menargetkan RBD spike protein dan menurunkan jumlah virus dengan efektivitas hingga 70 persen untuk mengurangi beratnya penyakit.

Baca Juga: Menguji Klaim Dokter Faheem Younus Soal Rekomendasi Masker KN95, Benarkah Paling Efektif?

Ilustrasi obat Covid-19. [Pinterest]
Ilustrasi obat Covid-19. [Pinterest]

"Ini mungkin yang bisa kita pertimbangkan ke depan," kata dia.

Menurut dia, Bamlanivimab dengan Etesevimab masih mungkin diharapkan bekerja karena bisa menyerang virus dari dua sisi dan ini akan lebih baik pada hasilnya.

Selain itu, ada juga Sotrovimab yang sebelumnya bekerja pada varian Alpha, Beta, Gamma dan Delta. Sementara untuk Omicron, para peneliti belum memiliki datanya, tetapi tampaknya menurunkan kemampuannya.

"Kalau pun diberikan tampaknya dia membutuhkan dosis yang cukup tinggi, dan mungkin tidak sebagus terhadap varian sebelumnya. Kalau pun masih bisa diberikan untuk lebih baik daripada enam antibodi monoklonal lain," kata Dr. Ceva.

"Tetapi peningkatan kemampuan daya hambatnya hanya meningkat 3 kali lipat, tidak setinggi apa yang kita harapkan," sambung dia.

Baca Juga: Menkes Siapkan Molnupiravir dan Paxvloid Untuk Hadapi Lonjakan Covid-19, Apa Beda Keduanya?

Selain terapi antibodi monoklonal, penanganan infeksi penyakit akibat virus bisa juga dengan mengandalkan obat-obat penekan imun pada level yang menguntungkan.

Saat ini, beberapa negara sudah mendapatkan persetujuan tentang Molnupiravir untuk menurunkan risiko penyakit memberat dan rawat inap di rumah sakit, kemudian kombinasi obat Ritonavir dan Nirmatrelvir yakni dalam bentuk oral sehingga bisa diberikan dini.

"Bisa diberikan pada pasien gejala ringan sampai sedang, menurunkan mortalitas hingga 80 persen," kata Ceva.

Sementara itu, ada sejumlah antivirus yang awalnya dipakai namun saat ini tercatat sudah tidak lagi direkomendasikan antara lain Hydroxychloroquine dan Ivermectin.

Lebih lanjut, Ceva mengatakan, setelah memberikan antivirus dokter juga harus mempertimbangkan strategi memberikan obat untuk merangsang antibodi atau berupa antibodi seperti plasma konvalesen yakni plasma dari orang sudah sembuh yang sudah memiliki antibodi terhadap penyakit.

Menurut dia, hasil pengobatannya bisa bervariasi, salah satunya bisa memperkecil risiko kematian pasien dengan catatat titer imunoglobulin antibodi di dalam serum harus sangat tinggi.

Di sisi lain, antiperadangan untuk menekan reaksi berlebihan tubuh termasuk immunodobulator serta terapi-terapi suportif untuk mempertahankan hidup pasien seperti cairan, nutrisi, oksigenisasi dan seterusnya juga tak bisa dikesampingkan perannya dalam pengobatan COVID-19 saat ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI