Suara.com - Pandemi yang belum berakhir menjadi prioritas kebijakan kesehatan publik di tingkat global dan Indonesia, namun masalah kesehatan lain, terutama terkait kesehatan anak Indonesia tetap harus menjadi prioritas pemerintah dan semua pihak. Salah satu kondisi kesehatan anak yang tidak boleh disepelekan selama pandemi Covid-19 adalah anemia, terutama anemia defisinesi besi.
Founder dan Chairman Health Collaborative Center, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, melalui Program IG Talk HCC mengatakan, anemia pada anak merupakan masalah kesehatan yang bersifat kronis, sehingga menjadi ancaman serius terhadap masa depan bangsa.
“Kondisi ini sudah terjadi puluhan tahun pada anak Indonesia, sehingga ancamannya juga sangat nyata, yaitu terkait kualitas sumber daya manusia Indonesia. Sudah banyak kajian ilmiah global dan nasional yang menunjukan bahwa bila angka stunting dan anemia pada anak Indonesia tidak membaik, maka akan aada ancaman terhadap bonus demografi bangsa Indonesia,” Ujar Dr. Ray.
Ia memiliki pengalaman 15 tahun sebagai praktisi di bidang industri nutrisi dan K3 manajemen perkantoran.
Baca Juga: Sumber Makanan Manakah yang Baik untuk Mengatasi Anemia?
Menurutnya, pandemi memperberat penanganan masalah kesehatan. Melalui artikel ilmiah yang dipublikasikan di Jurnal Nutrient dari Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK bersama keempat rekannya berjudul “Diet Determinan Anemia pada Anak Usia 6–36 Bulan: Studi Cross-Sectional di Indonesia” dinyatakan bahwa prevalensi anemia tertinggi ditemukan di antara mereka yang berusia 6-11 bulan (42,3%).
“Data tersebut diperoleh selama masa pandemi. Artinya, mungkin saja fokus pelayanan kesehatan selama pandemi untuk mengatasi Covid-19 bisa berdampak terhadap kurangnya fokus pada aspek pencegahan, hingga penanganan lewat intervensi nutrisi untuk anemia,” ungkapnya.
Secara garis besar, penyakit ini dapat dikatakan sebagai kondisi ketika jumlah sel darah merah lebih rendah dari kadar normal. Jumlah penderita anemia di seluruh dunia mencapai ± 2,3 miliar penduduk, yang mana 50 persennya disebabkan oleh Anemia Defisiensi Besi (ADB). Sebanyak 85 persen dari para penderita anemia disinyalir menjangkiti perempuan dan anak-anak.
Temuan ini sejalan dengan tingkat pendidikan dan penghasilan rumah tangga di daerah perkotaan menengah ke bawah di DKI Jakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin se-Indonesia pada Maret 2021 sebesar 27,54 juta orang.
Secara implisit, permasalahan ini mempengaruhi pemenuhan gizi seimbang anak - remaja yang berada di bawah garis kemiskinan.
Baca Juga: 6 Makanan untuk Darah Rendah, Penderita Anemia Wajib Tahu!
Ray mengatakan, anemia dipengaruhi faktor kurangnya pemenuhan zat gizi utama yang secara signifikan berhubungan dengan produktivitas harian. Menurut Jurnal Nutrisi, anemia pada anak berkontribusi pada perkembangan motorik dan kognitif yang buruk, sehingga bisa mengakibatkan menurunnya tingkat produktivitas di sekolah.
“Makanan pendamping kaya zat besi direkomendasikan pada bayi sekitar usia 6 bulan. Ini disebabkan karena simpanan zat besi natural sudah menipis, sehingga penting untuk memperkenalkan makanan tambahan untuk meningkatkan penyerapan gizi seimbang. Asupan vitamin C juga penting, karena bukti ilmiah menunjukkan peran vitamin C, yaitu untuk memaksimalkan penyerapan zat besi,” ujar Ray, yang sering membagikan edukasi daring lewat akun Instagram @ray.w.basrowi.
Zat besi penting untuk pertumbuhan sistem saraf pusat terutama sepanjang tahun pertama. Anak-anak memiliki risiko kekurangan sel darah merah lebih tinggi, karena mereka membutuhkan pemenuhan gizi yang seimbang untuk tumbuh.
“Konsumsi makanan kaya zat besi perlu diperhatikan. Kekurangan zat besi adalah penyebab umum anemia pada anak di bawah lima tahun,” imbuhnya.
Kemiskinan merupakan penyebab utama sebagian besar masalah kurang gizi pada anak, seperti kurangnya zat besi. Anak-anak dan remaja dengan status sosial ekonomi yang buruk lebih rentan terhadap defisiensi nutrisi, terutama jika pola makan nabati (kebanyakan makan tahu atau tempe) tidak diimbangi dengan protein hewani yang cukup.
Anemia berkorelasi dengan fungsi kognitif yang buruk seperti konsentrasi, kecerdasan, memori dan keterampilan belajar. Incaran masalah gizi yang harus diatasi salah satunya penderita anemia ada di usia tumbuh kembang anak.
Jika tidak diatasi sedini mungkin, anemia bisa berpotensi merenggut masa depan generasi muda ke depan. Oleh karena itu membutuhkan solusi jangka panjang untuk menuntaskan permasalahan ini dari akarnya, yang mana ada sebuah misi pemenuhan enam target nutrisi global dengan satu tujuan spesifik, yaitu mengurangi 50 persen tingkat anemia pada perempuan usia subur di tahun 2025.