Suara.com - Infeksi virus yang menyebabkan Covid-19 dapat memicu respons imun yang bertahan lebih lama dari infeksi dan masa pemulihan. Bahkan, ini bisa terjadi pada orang dengan gejala ringan atau tanpa gejala sama sekali.
Hal ini ditemukan oleh para peneliti dari Cedars-Sinai. Mereka melihat bagaimana beberapa tubuh pasien Covid-19 menghasilkan autoantibodi, yang dapat menyerang organ dan jaringan tubuh sendiri dari waktu ke waktu.
Riset yang terbit di Journal of Translational Medicine ini menunjukkan bahwa orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 memiliki berbagai macam autoantibodi hingga enam bulan setelah mereka pulih sepenuhnya.
Sebelum studi ini, peneliti tahu bahwa kasus Covid-19 parah dapat sangat menekan sistem kekebalan sehingga autoantibodi diproduksi, lapor Medical Xpress.
Baca Juga: Dr Tirta Komentari Kasus Joki Vaksin Covid-19 16 Kali, Beri Saran untuk Periksa Antibodi
“Temuan ini membantu menjelaskan apa yang membuat Covid-19 menjadi penyakit yang sangat unik,” kata ilmuwan peneliti di Departemen Kardiologi di Smidt Heart Institute, Justyna Fert-Bobe.
Ia melanjutkan, "Pola disregulasi kekebalan ini dapat mendasari berbagai jenis gejala persisten yang kita tahu disebut long Covid-19."
Beberapa autoantibodi telah dikaitkan dengan penyakit autoimun yang biasanya lebih sering menyerang wanita daripada pria.
Namun, dalam penelitian ini, pria memiliki jumlah autoantibodi yang lebih tinggi daripada wanita.
"Di sisi lain, itu juga agak terprediksi mengingat semua yang kita ketahui tentang laki-laki lebih rentan terhadap bentuk Covid-19 parah," lanjutnya.
Baca Juga: Peneliti IPB Ciptakan Enzim Deteksi Virus dan Antibodi Covid-19
Tim peneliti tertarik memperluas riset untuk mencari jenis autoantibodi yang mungkin ada dan bertahan pada orang dengan gejala Covid-19.
Karena penelitian ini dilakukan pada orang yang terinfeksi sebelum vaksin ditemukan, para peneliti juga akan memeriksa apakah autoantibodi muncul secara serupa pada orang dengan infeksi terobosan.
"Jika kita dapat lebih memahami respons autoantibodi ini, dan bagaimana infeksi memicu dan mendorong respons variabel ini, maka kita dapat selangkah lebih dekat untuk mengidentifikasi cara mengobati dan bahkan mencegah efek ini berkembang pada orang berisiko," tandas peneliti.