Suara.com - Remaja dengan rentang usia 13 hingga 17 tahun masih menjadi kelompok yang rentan alami kekerasan seksual. Temuan dari survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan, kekerasan seksual lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan daripada di desa.
Deputi Bidang Perlindungan Anak KemenPPPA Nahar mengatakan, kekerasan seksual bisa terjadi secara kontak langsung maupun nonkontak.
Ia menyebut, pengalaman kekerasan seksual nonkontak pada anak 13 sampai 17 tahun di perkotaan paling banyak terjadi pada perempuan dengan angka 3,79 persen, dibandingkan anak laki-laki dengan 2,3 persen.
Di wilayah pedesaan, kekerasan seksual nonkontak juga lebih banyak terjadi pada anak perempuan yaitu sebanyak 2,79 persen, sedangkan anak laki-laki 1,91 persen.
Baca Juga: Survei KemenPPPA: Kekerasan Terhadap Perempuan Lebih Banyak Terjadi di Perkotaan, Kenapa?
"Dari jenis kekerasannya, ada dipaksa melihat foto atau video sex ini angkanya tinggi di perempuan di perkotaan. Kemudian dipaksa untuk berada dalam foto atau video sex perbandingannya ada 0,8 persen di wilayah pedesaan," jelas Nahar dalam konferensi pers virtual, Senin (27/12/2021).
Jenis kekerasan seksual non kontak lainnya berupa dipaksa mengirimkan teks, gambar, ataupun video kegiatan seksual. Nahar menyebutkan, angka di perkotaan juga tertinggi masih terjadi pada perempuan dengan 2,45 persen.
Sementara itu, pengalaman kekerasan seksual kontak pada remaja usia 13 sampai 17 tahun juga masih lebih banyak dialami anak perempuan di perkotaan.
Bentuk kekerasan seksual kontak berupa sentuhan yang tidak diinginkan, diajak berhubungan seks, dipaksa secara fisik berhubungan seks, dan hubungan seks dengan tekanan, ancaman, pengaruh atau pun kekuasaan.
Terkait pelaku kekerasan seksual, KemenPPPA menemukan bahwa paling banyak masih dilakukan oleh teman atau kelompok sebaya. Disusul pelaku oleh pacar atau pasangan dan orang tidak dikenal.
Baca Juga: Survei KemenPPPA: Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Menurun
Nahar mengatakan, KemenPPPA masih harus mengungkap pelaku yang dimaksud tidak dikenal tersebut.
"Ini catatan, tidak dikenal juga perlu kami analisis karena bisa jadi responden anak sulit untuk mengatakan siapa pelakunya," katanya.
Di sisi lain, informasi mengenai layanan pengaduan tindakan kekerasan sebenarnya telah cukup banyak diketahui anak, baik di perkotaan maupun di desa. Hanya saja, belum banyak anak yang menjadi korban bisa mengakses layanan tersebut, terutama di desa.
"Kami hawatir layanan di level desa masih dianggap kurang. Oleh karena itu, kebijakan Bu Menteri untuk mendorong desa ramah anak dan peduli perempuan kita harapkan bisa menjawab persoalan seperti ini," pungkasnya.