Suara.com - Selebgram Edelenyi Laura Anna meninggal dunia, pada Rabu (15/12/2021) kemarin. Sebelumnya, perempuan berusia 21 tahun tersebut diketahui menderita Spinal Cord Injury usai insiden kecelakaan tragis yang membuatnya lumpuh.
Pihak keluarga sendiri belum memastikan apakah Laura Anna berpulang terkait masalah Spinal Cord Injury yang ia derita atau ada masalah kesehatan lainnya.
Sementara itu dikutip Suara.com dari siaran pers yang dibagikan Ketua Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf (PERSEBSI) DKI Jakarta, Dr dr Wawan Mulyawan, SpBS(K), Spinal Cord Injury dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai cedera saraf tulang belakang.
Cedera saraf tulang belakang merupakan cedera pada tulang belakang baik langsung (kecelakaan ataupun jatuh) maupun tidak langsung (infeksi bakteri atau virus) yang dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian (definisi dari Perhimpunan PERDOSSI, 2006).
Baca Juga: Ini Penyebab Spinal Cord Injury Seperti Yang Dialami Laura Anna Sebelum Meninggal Dunia
Price tahun 2003 menyatakan bahwa cedera tulang belakang dapat mengakibatkan terjadinya paralisis, paraplegia, depresi refleks neurologis, edema dan hipoksia jaringan.
Dikatakan ada dua kerusakan akibat cedera saraf tulang belakang yaitu kerusakan langsung dan kerusakan tambahan.
Kerusakan langsung akibat benturan atau penekanan (keruskan primer) biasanya terjadi akibat trauma pada tulang belakang mulai dari leher atau servikal sampai tulang belakang sakral. Tulang yang retak atau patah akan menekan sumsum tulang belakang atau bahkan merobeknya.
Cedera saraf tulang belakang dapat saja terjadi tanpa patah tulang belakang yang jelas, namun sebaliknya seseorang bisa saja mengalami patah tulang belakang tanpa terjadi cedera tulang belakang.
Namun, pada sebagian besar cedera saraf tulang belakang, sumsum tulang belakang tertekan atau robek. Sedangkan berat ringannya kerusakan saraf tergantung pada kekuatan penekanan saraf oleh tulang belakangnya, keras ringannya energy yang menghantam, dan lamanya penekanan atau lamanya pertolongan.
Baca Juga: Lelah Diteror Netizen, Deddy Corbuzier Posting Bukti Kasih Laura Anna Duit Rp 250 Juta
Sementara kerusakan tambahan, ikutan atau sekunder dapat terjadi akibat terus berlangsungnya keruskaan primer karena kurang cepatnya pertolongan atau tidak tepatnya pertolongan. Sehingga kerusakan yang seharusnya lebih ringan, menjadi lebih berat atau menjadi permanen dibandingkan kerusakan langsung di awal cedera atau benturan.
Karena itu banyak kerusakan yang muncul setelah cedera awal, maka menjadi penting proses-proses kecepatan dan ketepatan penanganan untuk mempertahankan sebanyak mungkin fungsi saraf sensorik, motorik dan otonom.
Dalam beberapa menit setelah kecelakaaan atau cedera, jika tidak segera ditangani, menyebabkan pengiriman nutrisi dan oksigen yang tidak cukup ke sel saraf, dan sel sarf akhirnya mati permanen.
Ketika sel saraf di sumsum tulang belakang, akson, atau astrosit cedera dan tidak ditangani dengan cepat dan tepat, akan bisa merusak dirinya sendiri (self-destruction) akibat memproduksi bahan kimia beracun yang disebut zat radikal bebas.
Akibat Lanjut Cedera Saraf Tulang Belakang
Seperti diketahui, sel saraf pusat (yang ada di sumsum tulang belakang) jika mati tidak bisa beregenerasi (tidak bisa digantikan sel baru). Karenanya yang muncul adalah kondisi kerusakan yang kompleks dan makin memburuk.
Sehingga jika sel saraf di sumsum tulang belakang mati (mati langsung atau mati akibat lambat atau salahnya penanganan) akan menyebabkan fungsi-fungsi saraf sensorik (rasa, nyeri) hilang.
Demikian juga fungsi saraf motorik (gerak) juga bisa hilang sehingga lengan dan tangan atau tungkai dan kaki menjadi lemah bahkan lumpuh (jika 4 alat gerak lumpuh disebut tetraplegia, jika hanya kedua kaki yang lumpuh disebut paraplegia).
Jika saraf otonom yang rusak, maka konsekuensinya bisa terjadi gangguan buang air kecil atau buang air besar, suhu tubuh, tekanan darah dan sistem sirkualasi darah bahkan pada laki-laki bisa menyebabkan alat vitalnya tidak bisa ereksi.
Beberapa akson di sel saraf mungkin tetap utuh, dan masih mampu membawa sinyal ke atas atau ke bawah sumsum tulang belakang, tetapi karena jumlahnya mungkin terlalu sedikit, maka tidak mampu menjalankan fungsi saraf dengan normal.
Sementara orang dengan cedera di atas tulang leher bagian atas bahkan memerlukan alat bantu nafas (ventilator) untuk tetap bisa bernapas.
Akibat tambahan dari cedera saraf tulang belakang bisa berlanjut menyedihkan. Terlalu lama berbaring karena lumpuh akan menyebabkan luka akibat tubuh menekan alas tidur atau disebut decubitus, juga mudah terkena infeksi (biasanya sistem paru-paru dan dan saluran kencing). Bahkan pada beberapa kasus bisa menyebabkan peningkatan tekanan darah yang dapat mengancam nyawa.
Untuk bisa mendiagnosis cedera saraf tulang belakang, dokter akan memastikan terlebih dahulu apakah cedera saraf tulang belakang tidak memengaruhi pernapasan atau detak jantung yang berakibat dapat menyebabkan kematian cepat.
Selanjutnya, untuk menilai seberapa baik kondisi fungsi saraf tulang belakang, akan dilakukan pemeriksaan:
- Fungsi sensorik, atau kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri, atau rasa di kulit
- Fungsi motorik, atau kemampuan untuk menggerakkan bagian-bagian tubuh lengan dan tangan sampai jari-jari tangan, dan tungkai, kaki dan jari-jari kaki
- Fungsi otonom, atau kemampuan baung air besar, buang air kecil, fungsi alat vital (pada laki-laki)
Tes pencitraan biasanya dapat membantu mendiagnosis cedera tulang dan saraf tulang belakang:
- Ronsen biasa atau X-ray, untuk melihat ada tidaknya patah tulang atau terkilir/dislokasi
- CT scan, untuk melihat patah tulang, bekuan darah atau kerusakan pembuluh darah.
- MRI, untuk melihat kondisi saraf dan sumsum tulang belakang atau jaringan lunak.
Mungkin juga pada beberapa kasus (jarang dilakukan) dapat dikerjakan pemeriksaan elektromiogram (EMG) untuk memeriksa aktivitas listrik di otot
Penanganan Cedera Saraf Tulang Belakang
Mungkin saja dilakukan operasi darurat emergency atau cito untuk cedera saraf tulang belakang untuk mengatasi patah tulang belakang dana tau kerusakan sumsum tulang belakang akibat patah tulang, pembekuan darah, atau jaringan lain disekitatnya yang rusak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suntikan obat kortikosteroid bermanfaat membantu cedera tulang belakang, jika terjadi kondisi yang disebut spinal shock yang bersifat sementara namun permanen jika tidak diobati.
Dapat juga dilakukan operasi terjadual (non emergency) jika tujuannya untuk hanya memperbaiki stabilitas tulang belakangnya, namun kerusakan sarafnya sudah permanen.
Tujuan jangka panjang dari perawatan cedera tulang belakang meliputi:
- Meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup.
- Mengurangi risiko kondisi kesehatan kronis (berkelanjutan).
- Memulihkan beberapa fungsi saraf pada cedera parsial.
- Komplikasi jangka panjang dari cedera tulang belakang mungkin termasuk:
- Ketidakmampuan untuk mengatur tekanan darah atau suhu tubuh.
- Peningkatan risiko masalah jantung atau paru-paru.
- Kehilangan kontrol kandung kemih atau usus.
- Kelumpuhan pada lengan atau kaki.
- Sakit terus-menerus.
- Spastisitas, kontraktur sendi.
- Disfungsi seksual.
Tak hanya itu, kebanyakan orang dengan cedera tulang belakang memerlukan beberapa bentuk rehabilitasi fisik, atau terapi, baik dengan rawat inap (selama dirawat di rumah sakit) atau rawat jalan (setelah dirawat di rumah sakit).
Rehabilitasi dapat membantu pasien cedera saraf tulang belakang untuk:
- Belajar menggunakan alat bantu seperti alat bantu jalan / walker atau kursi roda.
- Memperoleh kembali kekuatan dan mobilitas di area tubuh dengan fungsi saraf.
- Memulihkan kemampuan untuk aktivitas hidup sehari-hari, seperti makan minum sendiri , berpakaian dan ke toilet.
Alat prostesis (pengganti tangan atau kaki buatan) cukup andal untuk membantu aktifitas pasien mengatasi cedera saraf tulang belakang. Sebuah prostesis saraf dapat menggantikan fungsi yang hilang seperti prostesis lengan atau kaki.
Cedera saraf tulang belakang bisa membuat seseorang cacat permanen. Jika yang terjadi adalah cedera sumsum tulang belakang yang komplit atau lengkap, maka cacat atau kelumpuhannya akan permanen.
Namun jika cedera tidak permanen, dalam arti hanya sebagian saraf sensorik, motorik atau otonom yang rusak alias tidak lengkap, masih memungkinkan beberapa perbaikan fungsional dari waktu ke waktu.
Biasanya tindakan operasi atau obat kortikosteroid yang terlambat dalam hitungan jam atau hari dapat menyebabkan cedera incomplete menjadi permanen.