Jadi Beban Ekonomi, Merokok Picu Risiko Jantung Koroner HIngga Kematian Mendadak

Senin, 13 Desember 2021 | 01:30 WIB
Jadi Beban Ekonomi, Merokok Picu Risiko Jantung Koroner HIngga Kematian Mendadak
Ilustrasi merokok. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Esti Nurjadin, mengungkapkan bahwa penggunaan tembakau atau merokok sangat berkaitan erat terhadap peningkatan kasus jantung koroner.

Ia mengatakan bahwa penyakit jantung koroner di usia produktif dapat menyebabkan penurunan produktivitas, sehingga ini dapat memengaruhi beban ekonomi masyarakat dan meningkatkan biaya kesehatan Pemerintah.

“Sebagai silent killer, dilaporkan bahwa penyakit jantung dan kardiovaskular, berkontribusi sebesar 26,4 persen total kematian. Banyak penelitian membuktikan hubungan antara merokok dengan penyakit jantung koroner,” ungkap Esti Nurjadin dalam Konferensi Pers: Mendesak Pemerintah Melanjutkan Revisi PP 109/2012, Minggu (12/12/2021).

“Merokok terbukti menjadi risiko terbesar untuk kematian mendadak. Risiko penyakit jantung koroner meningkat dua sampai empat kali pada perokok, dibanding yang non perokok,” lanjutnya.

Baca Juga: Ngeri, 80 Persen Penyebab Kanker Paru Akibat Kebiasaan Merokok!

Ilustrasi rokok kretek. [Shutterstock]
Ilustrasi rokok kretek. [Shutterstock]

Risiko penyakit ini seiring dengan bertambahnya usia seseorang dengan rokok yang dihisap. Esti melanjutkan, faktor risiko merokok berhubungan sinergis dengan hubungan penyakit jantung koroner. Antara lain hipertensi, kadar lemak, dan kadar gula darah yang tinggi.

“Indonesia merupakan negara keempat dengan konsumsi rokok terbesar di dunia. Selain itu, merokok secara jelas dapat merusak kesehatan dan menghambat produktivitas SDM di Indonesia pada masa mendatang,” kata Esti.

“Dan ini tidak dapat secara maksimal bersaing di era global, dengan berperan sebagai agen perubahan dalam membangun bangsa yang lebih baik dan unggul,” ungkapnya.

Berbagai sebab dari perilaku merokok perlu dikendalikan, mengingat prevalensi perokok pemula di Indonesia meningkat berdasarkan Riskesdas tahun 2018, yang menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi perokok anak mulai dari usia 10-18 tahun, dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen atau sekitar 1,8 juta anak.

“Tentu ini akan mengancam gagalnya Pemerintah untuk mempersiapkan generasi SDM yang berkualitas, sebagaimana yang dimuat di RPJMN 2020/2024,” tegas Esti.

Baca Juga: Sadis! Ibu Dirudapaksa, Bayi Dibunuh Teman Suami di Rokan Hulu

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI