Suara.com - Pandemi Covid-19 yang sudah berjalan lebih dari 1,5 tahun berdampak pada semua sisi kehidupan. Salah satunya, meningkatkan risiko gangguan jiwa yang diakibatkan oleh kabar buruk di sekitar kita.
Psikiater dari RS EMC Alam Sutera, dr Andri Sp.KJ, FAPM, mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman praktiknya, hampir 80 persen pasien yang berobat mengalami gangguan cemas, dengan gejala utama psikosomatik.
"Mereka datang biasanya dengan keluhan lambung, nyeri otot, jantung berdebar-debar atau pernah mengalami beberapa kali serangan panik," kata dr. Andri dalam keterangannya kepada wartawan, baru-baru ini.
Serangan panik merupakan serangan emas tiba-tiba yang membuat sistem saraf otonom mengalami peningkatan kinerja. Pada manusia, hal ini menyebabkan efek jantung berdebar-debar, rasa tercekik seperti kehabisan oksingan, kesemutan, dan banyak gejala fisik lainnya.
Baca Juga: 6 Gejala Gangguan Kecemasan yang Tersembunyi: Otot Sakit Hingga Gampang Lupa
Menurut dr. Andri, gangguan cemas yang dirasakan oleh pasiennya berhubungan erat dengan kondisi pandemi. Pada pasien berusia di atas 40 tahun 50 tahun, ketakutan akan pandemi bisa menyebabkan gangguan cemas, yang membuat pasien sulit tidur hingga membutuhkan bantuan obat untuk meredakan kecemasan.
Lalu, apa penyebab gangguan cemas semakin sering terjadi di masa pandemi? Menurut dr. Andri, salah satu sebabnya adalah berita buruk yang tak kunjung berhenti disiarkan di media massa. Apalagi pada Juli lalu, Indonesia sempat mengalami lonjakan kasus dan kematian akibat merebaknya varian Delta.
Kabar buruk, yang datang dari berita televisi hingga pengumuman kematian di masjid dan mushola, membuat pasien gangguan cemas rentan kambung. Karena itu menurut dr. Andri, penting bagi pasien gangguan cemas untuk memilah, mengurangi, bahkan menghentikan informasi yang diterima.
"Bahkan pengumuman kematian yang sering dari corong mesjid di saat Juli 2021 itu pun membuat rasa takut yang tidak terkira buat orang yang memiliki bakat untuk mengalami gangguan cemas. Itulah mengapa saya menyarankan mereka untuk memotong jalur informasi yang berlebihan yang mereka punya, sehingga paparan berita buruk itu bisa dikurangi atau bahkan dihentikan," kata dr. Andri.
Lalu, bagaimana mengatasi kecemasan yang datang di masa pandemi? Menurut dr. Andri, secara pribadi ia memiliki tiga sikap yang selalu diterapkan di masa pandemi, yakni ikhlas, sabar, dan sadar.
Baca Juga: TALKINC Bantu Generasi Muda Gali Potensi Diri dan Bangun Imajinasi Tanpa Batas
Ketiga sikap ini, yang disebut dr. Andri sebagai mantranya sehari-hari, membantu membuat dirinya lebih tenang. Sebab, kemampuan menerima keadaan seperti apa adanya dan sabar menjalani masalah dalam kehidupan adalh kunci mencapai batin yang seimbang, dan mengurangi kecmasan.
"Hal ini ditambah kesadaran untuk mencoba membawa pikiran selalu ke saat ini dan sekarang (here and now), agar kita tidak terjebak dengan masa lalu dan tidak takut menghadapi masa depan," tutupnya.