Penundaan Revisi PP 109 Tahun 2012 Ancam Masa Depan Anak Indonesia

Jum'at, 19 November 2021 | 22:15 WIB
Penundaan Revisi PP 109 Tahun 2012 Ancam Masa Depan Anak Indonesia
Polisi berhazmat berjaga saat unjuk rasa yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) di kawasan Patung Arjuna Wiwaha, Jakarta, Rabu (17/11/2021). [Suara.com/Angga Budiyanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Parade mural yang berisikan peringatan dan bahaya merokok mewarnai peringatan Hari Kesehatan Nasional yang digagas oleh perwakilan masyarakat dari Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK).

Para peserta parade, yang hampir seluruhnya merupakan anak muda, mendesak Presiden Joko Widodo untuk merevisi PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

“Mural kami pilih sebagai media penyampaian aspirasi ketika sistem penyampai aspirasi formal di pemerintah tidak berjalan baik, sehingga kami mencari media lain, yakni karya mural, untuk menyuarakan pendapat kami, khususnya mendesak segera disahkannya Revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan,” kata Rama Tantra, perwakilan KOMPAK yang juga aktif sebagai Youth Empowerment Officer Yayasan Lentera Anak, dalam orasinya Rabu (17/11/2021).

Ada alasan mengapa Rama dan anak-anak muda lainnya begitu giat mengampanyekan pengendalian tembakau. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2018 menyebut angka perokok anak masih sangat tinggi, yakni 9,1 persen.

Baca Juga: Survei: COVID-19 Tak Buat Orang Indonesia Berhenti Merokok

Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) berpantomim saat menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Arjuna Wiwaha, Jakarta, Rabu (17/11/2021). [Suara.com/Angga Budiyanto]
Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) berpantomim saat menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Arjuna Wiwaha, Jakarta, Rabu (17/11/2021). [Suara.com/Angga Budiyanto]

Itu artinya 1 dari 10 anak Indonesia adalah perokok. Ini merupakan kegagalan yang nyata mengingat target penurunan perokok anak sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2014 hingga 2019 dari 7,2 persen di tahun 2013, menjadi 5,4 persen pada 2019.

Yang lebih parah, ditemukan juga kenaikan jumlah perokok anak yang menggunakan rokok elektrik atau e-cigarette meningkat dari 7,2 persen dari tahun 2013, menjadi 9,1 persen pada tahun 2018.

Inilah alasan revisi PP 109 Tahun 2012 menjadi penting. Sebab salah satu poin yang akan dibahas adalah aturan iklan produk tembakau seperti rokok di ruang publik, internet, televisi, hingga penempatan pajangan (display) rokok di toko atau warung.

Selain itu dalam PP 109 Tahun 2012 juga akan dibahas, tentang aturan dan pelarangan menjual rokok batangan, yang dianggap biang kerok meningkatnya prevalensi perokok anak Indonesia dari tahun ke tahun.

Dampak Katastropik Merokok Bagi Negara

Baca Juga: Miris! Iklan Rokok Bertebaran di Berbagai Media, Tawarkan Harga Termurah

Kesehatan anak-anak saat ini merupakan bekal bagi negara Indonesia di masa depan. Jika kesehatan anak-anak buruk akibat dampak rokok sejak kecil, maka Indonesia akan kehilangan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas untuk bisa bersaing di dunia.

Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyakat, Kementerian Kesehatan, dr. Imran Agus Nurali, Sp.KO., membeberkan betapa buruknya dampak merokok bagi negara.

Ia memaparkan berdasarkan data hasil kajian Balitbangkes Kemenkes RI di 2017, terkait penyakit katastropik atau penyakit tidak menular yang membutuhkan biaya tinggi, dan membebani negara.

Dampak merokok pada keluarga. (Shutterstock)
Dampak merokok pada keluarga. (Shutterstock)

"Jadi kita lihat dampak kesehatan akibat rokok 3 kali lipatnya. Pembiayaan dampak kesehatan yang langsung maupun tidak langsung, terhadap berbagai penyakit yang katastropik, itu kurang lebih Rp 513 triliun lebih," ujar dr. Imran dalam acara diskusi Urgensi Revisi PP 109 Tahun 2021, Rabu (10/11/2021).

Adapun penyakit katastropik yang jadi beban negara di antaranya seperti sakit jantung, gagal ginjal, stroke, kanker, hipertensi dan lain sebagainya.

Seperti diketahui, sederet penyakit tersebut bisa disebabkan oleh rokok, dan kebiasaan merokok juga memperparah kondisi penyakit tersebut.

Sedangkan kata Imran, pendapatan negara yang diperoleh melalui cukai hanya sebanyak Rp 147,7 triliun, tiga kali lebih rendah dibanding beban negara karena penyakit katastropik dan menyebabkan BPJS Kesehatan defisit.

"Kemudian data cukai yang masuk pada tahun 2017 itu sebanyak Rp 147,7 triliun," imbuh dr. Imran.

Tingginya beban yang ditimbulkan oleh merokok mendapat reaksi keras dari Mantan Menteri Kesehatan periode 2012-201, Nafsiah Mboi. Ia mengusulkan perokok tidak lagi menjadi tanggungan BPJS Kesehatan, jika mereka tidak ingin berhenti merokok.

"Kepada BPJS saya mengajukan supaya yang perokok dan tidak mau berhenti, jangan ditanggung BPJS. Yang benar aja, dia dengan merokok tahu (akibat kesehatan) dan mau kok (tetap merokok)," ujar Nafsiah dalam acara urgensi Revisi PP 109 tahun 2012, beberapa waktu lalu.

Nafsiah juga mengkritisi pernyataan yang selalu dibawa industri rokok adalah nasib petani rokok yang hak dan mata pencahariannya terampas.

Padahal kata dia, sebagain besar bahan baku tembakau untuk rokok didapat dari impor, sedangkan tembakau yang diperoleh dari petani asli justru dibeli dengan harga murah.

"Apalagi omong kosong, industri beli tembakau tuh lebih banyak impornya kok, kita ada datanya kok, lebih banyak yang diimpor daripada beli dari petani, yang dari petani itu malah karena mereka monopoli, harganya sangat rendah," tuturnya.

"Non sense mereka jika pakai nama petani," sambung Nafisiah menggebu-gebu.

Apa yang Membuat PP 109 Belum Juga Direvisi?

Revisi PP 109 tahun 2012 belum juga direvisi, meski Presiden Joko Widodo sudah menandatangani persetujuannya, berdasarakan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2018.

Hal ini menurut Ketua Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari, sangat mengherankan. Sebab, urgensi revisi tidak datang hanya dari sektor kesehatan, tapi juga kesejahteraan keluarga.

Lisda mengutip pernyataan kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, yang mengatakan garis kemiskinan pada Maret 2021 naik 2,96 persen dari September 2020. Irosnisnya, konsumsi rokok menjadi pengeluaran terbesar di rumah tangga setelah beras.

Parade mural untuk tekan prevalensi perokok anak. (Dok. Lentera Anak)
Parade mural untuk tekan prevalensi perokok anak. (Dok. Lentera Anak)

"Pemerintah sepertinya tidak atau belum meletakkan derajat kesehatan masyarakat sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan sumber daya manusia. Aturan dan kebijakan di bidang kesehatan masih dibuat parsial dan sporadis, belum menyeluruh dan terintegrasi," kata Lisda.

Ia menyebut sejumlah kementerian menghalangi terbitnya revisi PP 109 tahun 2012, dengan dalih kontribusi rokok bagi keuangan negara. Padahal seperti sudah disebutkan sebelumnya, klaim tersebut tidak benar.

Lisda menilai kondisi pandemi Covid-19 saat ini merupakan momentum tepat bagi Pemerintah untuk segera menyelesaikan revisi PP109/2012 agar Indonesia memiliki regulasi yang lebih kuat dan tegas untuk melindungi anak dari ancaman bahaya rokok dan dari industry rokok yang sangat agresif memasarkan rokok kepada anak.

Karena di masa pandemi anak-anak tidak hanya berpotensi terpapar asap rokok di rumah, tetapi juga berpeluang menjadi perokok di luar rumah. Sebab konsekuensi dari tidak adanya kegiatan sekolah tatap muka, maka anak-anak yang tidak memiliki fasilitas internet di rumah cenderung menggunakan warung internet/warnet sebagai tempat belajar daring.

Padahal di warnet tersebut mereka tidak hanya berpotensi terpapar asap rokok tapi justru bisa merokok dengan leluasa karena tidak adanya pengawasan guru dan orang tua.

"Sepanjang kita tidak memiliki kebijakan kesehatan yang komprehensif, semakin terbukti bahwa Pemerintah belum meletakkan derajat kesehatan masyarakat sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan sumber daya manusia. Ini sungguh ironis. Untuk apa kita setiap tahun memperingati Hari Kesehatan Nasional jika Pemerintah tidak segera membuat kebijakan di bidang Kesehatan yang kuat dan tegas dalam melindungi masyarakat," tutup Lisda.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI