Suara.com - Temuan terbaru ilmuwan Inggris menyebut varian terbaru COVID-19, yang merupakan turunan dari varian Delta, akan semakin sulit dideteksi.
Penyebabnya, subvarian Delta yang berkembang di Inggris ini kecil kemungkinannya menimbulkan gejala infeksi COVID-19.
Studi REACT-1 oleh Imperial College London mengungkapkan bahwa secara keseluruhan kasus telah turun dari puncaknya pada Oktober.
Studi menemukan bahwa subvarian yang dikenal sebagai AY42 itu muncul pada hampir 12 persen dari sampel yang diurutkan, namun hanya sepertiga saja yang memiliki gejala COVID "klasik".
Baca Juga: Gelombang Keempat COVID-19 Landa Belgia, Pekerja Kembali Work From Home
Sedangkan subvarian AY4 yang kini mendominasi ditemukan pada hampir separuh sampel.
AY42 diperkirakan sedikit lebih menular, namun tidak terbukti menyebabkan penyakit menjadi lebih parah.
Para peneliti menyebutkan bahwa orang tanpa gejala (OTG) mungkin kurang mengisolasi diri, tetapi orang dengan gejala lebih sedikit mungkin juga lebih gampang menyebarkan virus lewat batuk, dan mungkin tidak mengalami sakit parah.
"Kelihatannya lebih mudah menular," kata ahli epidemiologi Paul Elliott kepada awak media. "Terlihat minim gejala, menjadi hal yang bagus."
Imperial sebelumnya merilis hasil studi sementara yang menunjukkan prevalensi COVID-19 mencapai puncaknya pada Oktober dan infeksi terbanyak terjadi pada anak-anak.
Baca Juga: Update COVID-19 Jakarta 18 November: Positif 100, Sembuh 136, Meninggal 1
Hasil menyeluruh dari putaran terakhir studi pada 19 Oktober-5 November itu mengonfirmasi bahwa tingkat infeksi turun dari puncaknya, sejalan dengan liburan semester sekolah pada akhir Oktober.
Menurut Elliot, belum pasti apakah penurunan infeksi terus berlanjut. Beberapa pekan ke depan pihaknya akan menetapkan apakah kembali ke sekolah menyebabkan kenaikan kasus lagi.
Studi REACT-1 juga menemukan bahwa dosis booster mengurangi dua pertiga risiko infeksi pada orang dewasa dibanding dengan penerima dosis kedua.