Sebuah percobaan lebih besar dengan 1.850 peserta kini meninjau untuk melihat apakah molnupiravir lebih baik daripada plasebo dalam mencegah penyakit serius dan kematian pada pasien COVID dewasa yang tidak dirawat di rumah sakit. Dan percobaan fase 3 (tahap akhir pengujian pada manusia) sekarang merekrut peserta – di 17 negara berbeda – untuk meninjau apakah pengobatan molnupiravir dini pada pasien positif COVID mencegah orang lain yang tinggal di rumah yang sama dari infeksi. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan molnupiravir, dengan cara ini, dapat menghentikan penyebaran SARS-CoV-2 pada sekawanan musang.
Jika uji coba ini menghasilkan kinerja yang baik, dampak molnupiravir bisa sangat besar. Mengingat beratnya penyakit yang dapat disebabkan oleh SARS-CoV-2, antivirus yang efektif akan menjadi senjata berharga untuk dimiliki dalam persenjataan klinis kita – terutama jika molnupiravir terus bertindak secepat sebagaimana kita lihat dalam pengujian. Pasien yang menderita COVID dapat sangat mudah mengalami kritis mendadak.
Karena obat ini dapat dikonsumsi secara oral maka akan sangat membantu dan mudah digunakan pada tahap awal infeksi sebab mudah diakses meski di luar rumah sakit. Selain itu, molnupiravir dapat diproduksi dalam jumlah besar dan tidak memerlukan transportasi dingin. Vaksin dan tindakan fisik untuk mengendalikan penyebaran virus masih akan menjadi taktik utama untuk mengelola COVID, tapi obat ini dapat melengkapi keduanya.
Dari mana asalnya?
Mengembangkan obat antivirus biasanya membutuhkan waktu lama. Faktanya, molnupiravir baru tersedia 18 bulan setelah pandemi, karena molnupiravir tidak dikembangkan secara khusus untuk COVID. Ini adalah antivirus spektrum luas - yang berarti dapat digunakan untuk melawan berbagai macam virus. Pengembangannya dimulai pada 2013 di Emory University di AS.
Fokusnya kemudian adalah menemukan obat antivirus untuk pengobatan infeksi virus radang otak, ancaman utama bagi kesehatan masyarakat manusia dan hewan di Amerika. Dalam pengembangan, obat ini awalnya dikenal sebagai EIDD-1931. Pengujian luas mengonfirmasi bahwa obat ini mampu menghambat beberapa virus RNA untuk berlipat ganda, termasuk virus influenza, beberapa virus corona dan virus inveksi saluran pernapasan.
Namun, ketika EIDD-1931 diberikan secara oral kepada monyet, obat ini dengan cepat dimetabolisme dalam tubuh hewan itu sehingga turun aktivitas antivirusnya. Untuk mengatasi hal ini, para ilmuwan menciptakan obat tidak aktif (dikenal sebagai prodrug) yang kemudian diubah menjadi obat aktif di dalam tubuh. Prodrug EIDD-1931 adalah molnupiravir.
Awalnya, pengembang molnupiravir mengajukan permohonan izin kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS untuk mengujinya pada manusia sebagai pengobatan untuk influenza musiman. Namun, setelah COVID muncul, dan molnupiravir terbukti memiliki efek terhadap SARS-CoV-2, permintaan diajukan untuk mengujinya pada COVID. Suatu hari nanti, mungkin saja obat ini bisa digunakan untuk mengobati sejumlah penyakit yang berbeda.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.
Baca Juga: Obat COVID-19 Molnupiravir Tiba di Indonesia Desember, Harganya di Bawah Rp 1 Juta