Suara.com - Pakar menyebut resistensi antimikroba bisa ditangani dengan baik dengan menggunakan pendekatan One Health. Apa itu?
Menurut Profesor Kesehatan Masyarakat dan Epidemiologi dari Universitas Diponegoro, Prof. dr. Agus Suwandono, MPH., Dr.PH., pendekatan dan kolaborasi intersektorial dapat menjadi salah satu upaya untuk menangani kejadian resistensi antimikroba (AMR) di Indonesia.
"Dalam menangani kejadian AMR, prinsip pendekatan One Health, yakni koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi perlu dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait (intersektoral)," kata Prof. Agus dikutip dari ANTARA.
"Pemerintah Indonesia sendiri sudah menetapkan kebijakan berupa Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit-rumah sakit melalui Permenkes No.8 Tahun 2015 dan juga terdapat beberapa peraturan penggunaan antibiotik di luar rumah sakit," imbuhnya.
Baca Juga: Penggunaan Antibiotik Tak Sesuai, Penyebab Angka Resistensi Antimikroba Meningkat
Lebih lanjut, Prof. Agus yang merupakan Koordinator Indonesia One Health University Network (INDOHUN) itu mengatakan tidak hanya peran pemerintah yang diperlukan dalam penanganan AMR. Seperti pandemi COVID-19, program-program pemerintah akan berhasil jika didukung juga oleh masyarakat.
"Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan AMR diperlukan yaitu dalam menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi," ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015. Implikasi dari AMR adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan.
Menurut penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies mengatakan bahwa rata-rata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan terhadap bakteri Escherichia coli adalah sebesar 10.400 dolar AS atau sekitar Rp149 juta.
Sedangkan bagi pasien yang resistan, nilainya bertambah sebanyak 6 ribu dolar AS atau sekitar Rp86 juta, yang meliputi biaya perawatan, diagnosa, obat-obatan, dan layanan pendukung lainnya.
Baca Juga: Sumber Masalah, Ahli Ingin Penggunaan Antibiotik Diawasi Laiknya Obat Terlarang
"Berdasarkan data dari WHO, selama 15 tahun terakhir, penggunaan antibiotik meningkat sampai 91 persen secara global dan di negara berkembang sendiri meningkat hingga 165 persen. Peningkatan tajam ini membuat AMR masuk ke dalam 10 ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia dan perlu ditangani dengan baik," kata Prof. Agus.
Hal ini mendorong INDOHUN bekerja sama dengan Pfizer Indonesia untuk mengadakan seminar web dalam rangka peringatan World Antibiotic Awareness Week 2021 bertajuk" Kebijakan Peresepan dan Praktik Penjualan dan Konsumsi Antibiotik di Indonesia".
Seminar ini ditujukan kepada para akademisi, praktisi, klinisi, dan masyarakat umum agar semakin sadar, peduli, dan tergerak untuk berkontribusi dalam menekan laju kasus resistensi antimikroba di Indonesia.
Keterlibatan dari berbagai pihak multisektor, baik dari sektor medis, pasien, dan pemerintah, akan meningkatkan pencegahan resistensi antibiotik yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan mutu kesehatan masyarakat Indonesia.