Masih Dijual Rp1.000 Per Batang Bikin Konsumsi Rokok di Indonesia Tinggi

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 03 November 2021 | 17:10 WIB
Masih Dijual Rp1.000 Per Batang Bikin Konsumsi Rokok di Indonesia Tinggi
Ilustrasi rokok kretek. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Angka perokok di Indonesia terbilang masih relatif tinggi. Salah satu penyebabnya ialah karena murahnya harga rokok.

Salah satu faktor penyebab tingginya konsumsi rokok di Indonesia adalah tingkat keterjangkauan yang tinggi. Rokok dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja, bahkan oleh anak-anak dan remaja, serta keluarga miskin, karena harga yang sangat murah.

Dalam keterangan yang diterima Suara.com, Rabu, (3/11/2021), dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) bersama Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), dengan Rp1.000 saja per batang, rokok dapat dibeli secara eceran.

Sementara menurut hasil survei yang dilakukan oleh PKJS UI (2018), perokok berpikir untuk berhenti merokok jika harga rokok dinaikan hingga Rp70 ribu per bungkus.

Baca Juga: Pandemi Covid-19, Perokok Indonesia Beralih ke Rokok Lebih Murah

Angka ini tentu masih jauh dari kenyataan. Data di atas juga sudah sering disampaikan dalam berbagai forum, sayangnya pemerintah masih belum benar-benar berpihak pada kesehatan masyarakat.

Ilustrasi rokok
Ilustrasi rokok

Maka dari itu, kegiatan Tapak Tilas hari ini mencoba untuk mengarsipkan riset-riset yang berhubungan dengan kebijakan cukai rokok agar dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pemerintah dalam merumuskan kenaikan cukai tahun ini dan tahun-tahun mendatang melalui perencanaan kebijakan berkesinambungan.

Selain menjadi beban bagi keluarga miskin, tingginya konsumsi rokok dalam jangka panjang akan menyebabkan penyakit kronis tidak menular yang membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi.

Seperti hasil kajian CISDI pada 2019 (CISDI, Forthcoming), beban ekonomi merokok yang mencakup biaya langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost), mencapai 446.73 triliun rupiah atau sama dengan 2.9% pendapatan nasional bruto. Beban biaya ini diperkirakan akan terus meningkat jika prevalensi perokok saat ini tidak dikendalikan.

“3 studi yang telah dilakukan oleh Komnas PT, CISDI, dan PKJS UI menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan pandemi COVID-19," kata Krisna Puji Rachmayanti, peneliti dari FIA UI.

Baca Juga: Petani Harap Cukai Tembakau Tak Naik Lagi: Penurunan Kesejahteraan Terjadi Tiap Tahun

Maka dari itu, lanjut Krisna, masa-masa pandemi ini justru adalah masa krusial dan sangat tepat untuk segera menaikan cukai rokok sekaligus harganya di pasaran.

Hal ini untuk melindungi masyarakat kelompok rentan yang sensitif dengan kondisi ekonomi agar bisa segera berhenti dari adiksi merokok,” jelasnya

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI