Prevalensi Masalah Kesehatan Mental Kaum Muda Meningkat, Cegah dengan Langkah Ini

Jum'at, 29 Oktober 2021 | 18:30 WIB
Prevalensi Masalah Kesehatan Mental Kaum Muda Meningkat, Cegah dengan Langkah Ini
Ilustrasi gangguan kesehatan mental (pexels/Karolina Grabowska).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seiring dengan meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia beberapa waktu lalu, berita bohong atau hoaks juga melonjak drastis. Informasi itu membuat banyak masyarakat bingung dan semakin berada dalam kondisi tidak pasti. 

Hal itu, sedikit banyak berkontribusi terhadap kesehatan masayarakat.  Itu juga yang menjadi satu dari sekian banyak alasan meningkatnya prevalensi masalah kesehatan mental oleh kaum muda di masa pandemi ini. 

Hal tersebut ditunjukkan oleh data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yanh menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami masalah mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.   

Saat ini, kata Jenyffer, M.Psi, Psikolog Klinis, prevalensinya di Indonesia meningkat tajam, yaitu 1 dari 5 orang atau 20 persen dari populasi berisiko mengalami masalah kesehatan mental. Artinya masalah kesehatan mental bisa terjadi pada siapa saja, termasuk anak muda.

Baca Juga: Fenomena Hustle Culture Menjerat Kaum Muda di Tengah Pandemi

Ilustrasi kesehatan mental (unsplash.com/@fairytailphotography)
Ilustrasi kesehatan mental (unsplash.com/@fairytailphotography)

"Situasi pandemi Covid-19 membuat anak muda sangat rentan mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi dan ansietas. Mereka sering kali merasa diabaikan, terbatasnya ruang untuk mengekspresikan diri dan bersosialisasi," ujar dia dalam webinar "Kesehatan Mental untuk Semua: Mari Kita Wujudkan!" bersama Good Doctor dan LSPR, Jumat (29/10/2021).

Adapun lanjut dia, ada berbagai hal yang dapat dilakukan anak muda agar kuat mental selama pandemi, yakni melihat rasa cemas sebagai alat bantu untuk mengambil tindakan agar tetap bisa berkembang dalam situasi sulit.

Lalu, lanjut dia, temukan cara baru untuk berinteraksi dengan teman, fokus pada  diri sendiri agar bisa menemukan cara produktif untuk bertahan di masa pandemi. 

Di bulan Oktober ini bertepatan dengan Bulan Kesadaran Kesehatan Mental Sedunia, Jenyffer juga menyoroti pelayanan kesehatan mental yang masih sangat kurang di Indonesia. Menurut dia, banyak yang masih perlu dilakukan untuk menurunkan stigma yang diasosiasikan dengan kesehatan mental dan mendorong diskusi tentang kesehatan mental. 

"Bahkan, dari sekitar 10 ribu puskesmas di Indonesia, baru 60 perden puskemas yang memberikan layanan kesehatan mental.  Dari sisi tenaga profesional yang menangani kesehatan mental, Indonesia juga masih kekurangan," jelasnya.

Baca Juga: Penyakit Kanker Juga Bisa Berpengaruh Pada Kesehatan Mental, Kenapa?

Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK) juga menyebutkan jumlah psikolog klinis yang tersebar di Indonesia saat ini hanya sebanyak 2.782 orang. Artinya, hanya ada 1 psikolog untuk 90 ribu orang di Indonesia, sementara standard yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 1 tenaga psikolog melayani 30 ribu orang. 

Sebanyak 70 persen berada di pulau Jawa, 20 persen terkonsentrasi di Jakarta. Sedangkan sampai hari ini jumlah psikiater untuk pelayanan kesehatan jiwa hanya mempunyai 1.053 orang. 

Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Meskipun standar WHO menyebutkan 1 psikolog untuk melayani 30.000 penduduk, pada kenyataannya di Indonesia, 1 psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk.  Sedangkan untuk tenaga profesional psikolog klinis yang tersebar di Indonesia, saat ini hanya ada 2.782 orang. Artinya 1 psikolog untuk 90.000 penduduk. 
 
“Maka telemedis juga menjadi solusi atas keterbatasan penanganan kesehatan mental di Indonesia. Terutama untuk anak muda yang akrab dengan dunia digital, akses pengobatan kesehatan mental jadi lebih riil dan terjangkau,” papar Jennyfer.

Untuk memperjuangkan pentingnya tatalaksana kesehatan yang menyeluruh, Good Doctor Technology Indonesia (GDTI) berkolaborasi dengan The London School of Public Relations (LSPR) Communication & Business Institute meluncurkan program edukasi "Pengetahuan yang Baik, Kesehatan yang Baik" untuk meningkatkan literasi kesehatan dan menanamkan kebiasaan hidup sehat bagi generasi muda di Indonesia.

"Dengan bermitra dengan LSPR, semakin banyak kaum muda yang dapat mengakses aplikasi kami dan bersama-sama, kami berkomitmen untuk menyediakan informasi kesehatan yang terpercaya. Pemberdayaan kaum muda akan mendorong mereka untuk membuat keputusan yang lebih tepat tentang kesehatan mereka untuk jangka panjang," tutup Managing Director Good Doctor, Danu Wicaksana. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI