Suara.com - Setiap orang tentu pernah mengalami masa-masa sulit yang membuat sedih dan putus asa. Untuk menerima kondisi terpuruk tersebut memang tidak mudah. Namun menuntut diri untuk selalu melihat sisi positif juga bukanlah hal yang baik, bahkan bisa berubah menjadi toxic positivity.
Mengutip dari Live Strong, toxic positivity adalah gagasan bahwa pemikiran positif harus selalu disukai daripada emosi negatif.
"Ini adalah upaya aktif untuk mengabaikan atau mengesampingkan pikiran atau perasaan yang kurang menyenangkan seperti kemarahan, kesedihan atau frustrasi," kata uhee Jhalani, PhD , seorang psikolog klinis yang berbasis di New York City.
Tidak dapat disangkal, afirmasi positif seperti "jangan menyerah ya", "kamu harus bersyukur karena lebih beruntung" dan lainnya dapat memberikan kenyamanan dan harapan saat Anda sangat membutuhkannya.
Baca Juga: Viral Cowok Galau Pacaran Beda Agama, Keputusan Akhirnya Bikin Publik Emosi
Padahal, jika mempertahankan pola pikir positif ini secara terus menerus tak peduli seberapa berat situasi, bakal berpotensi merusak diri sendiri maupun orang lain.
Toxic positivity gagal mempertimbangkan kompleksitas kehidupan dan spektrum penuh emosi yang menyertainya, menurut Jhalani.
Sebab, toxic positivity terlalu menyederhanakan situasi, yang memandang bahwa kepositifan dapat memperbaiki apa pun yang salah dalam hidup seseorang. Dan dengan melakukan itu, justru dapat meminimalkan emosi seseorang yang sangat nyata dan menyakitkan.
Perlu dipahami bahwa toxic positivity berbeda dari optimisme.
Optimisme membuat seseorang berpegang pada realita, sedangkan toxic positivity memegang gagasan bahwa semuanya akan baik-baik saja, meski kenyataannya tidak.
Baca Juga: Dokter Tirta: Setidaknya 4 Oknum yang Bantu Rachel Vennya sampai ke Bali
Kata Jhalani, toxic positivity menyangkal emosi gelap dan menumbuhkan optimisme yang dipaksakan. Sementara, optimisme yang penuh harapan dapat membantu kita menghadapi tantangan dan mengatasi peluang baru, sehingga mendorong kita untuk tumbuh dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik.
"Anda bisa menjadi realistis sambil tetap optimis," kata Jhalani. Dengan kata lain, orang yang optimis dapat memproses dan mengatasi perasaan sulit dan tetap mempertahankan pandangan yang umumnya penuh harapan.