Suara.com - Selama pandemi Covid-19 konsumsi vitamin C dipercaya mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Namun meskipun sangat penting perannya bagi imunitas, konsumsi vitamin C ternyata bisa juga memicu berbagai gejala dan ketidaknyamanan di lambung, khususnya bagi mereka yang memang memiliki kecenderungan gangguan asam lambung.
“Selain berperan sebagai antioksidan dan meningkatkan penyerapan mineral seperti kalsium dan zat besi, vitamin C memiliki lima peran spesifik terhadap imunitas," ujar Nutrisionis Dr. Rita Ramayulis, DCN, M. Kes., pengurus DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) dalam keterangannya, Senin, (18/10/2021).
Namun, ternyata konsumsi vitamin C harus tepat, juga tidak sembarang, karena alih-alih memperkuat imunitas, ternyata pada orang tertentu justru bisa memicu permasalahan lain, khususnya jika memiliki lambung yang sensitif.
Oleh sebab itu penting untuk mempertimbangkan sejumlah faktor sebelum mengonsumsi vitamin c.
Baca Juga: Mengenal Garut, Herbal yang Diklaim Bisa Redakan Nyeri Lambung
Berikut beberapa faktor yang penting untuk dicermati dalam memilih vitamin C yang layak dikonsumsi setiap hari.
Aman Untuk Lambung
Menurut Rita, suplementasi vitamin C yang beredar juga berbeda-beda ikatannya. Ada yang bentuknya asam askorbat murni dan biasanya cenderung bereaksi meningkatkan produksi asam lambung. Tetapi pada beberapa suplemen lain asam askorbat itu diikat dengan dengan mineral yang bersifat basa.
Jadi, ketika sampai di lambung tidak membuat situasi sangat asam, karena sifat mineral itu membasakan, sehingga terjadi keseimbangan asam basa di dalam lambung. Hal ini dimungkinkan berkat kecanggihan teknologi di bidang farmasi. Salah satunya sodium askorbat yang sering disebut buffered vitamin C.
"Jadi, walaupun sifat vitamin C sesungguhnya memang asam, namun vitamin C yang dihasilkan lebih bisa diterima oleh orang-orang dengan gangguan asam lambung,” jelas Dr. Rita Ramayulis.
Baca Juga: 5 Ancaman Penyakit Berbahaya Jika Kekurangan Asupan Vitamin C
Hindari Yang Bersoda dan Berpengawet
Selain kandungan pengikat asam askorbat ini, Dr. Rita Ramayulis juga menganjurkan kita untuk mewaspadai kandungan soda di beberapa suplemen vitamin C dalam kemasan. Penggunaan soda di vitamin C soda itu terjadi karena beberapa alasan, misalnya agar ada sensasi rasa, serta mengawetkan kandungan vitamin C itu agar lebih stabil.
“Berbeda dengan sparkling water, menambahkan air soda artinya memang menambahkan pengawet di dalamnya. Zat yang biasa ditambahkan itu seperti sodium bicarbonate, sodium sitrat, atau disodium fosfat. Jika itu yang ditambahkan, memang bisa saja mengawetkan kandungan vitamin C, tetapi jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu oleh orang tertentu, beberapa jurnal kesehatan mengatakan dapat mempengaruhi kesehatan pencernaan," kata Rita.
Ia menjelaskan bahwa biasanya muncul bermacam-macam gejala, mulai dari sembelit, perut tidak nyaman, bahkan diare. Dari perspektif keseimbangan gizi, ini jelas mengganggu, apabila pengikatnya disodium fosfat, maka fosfat berlebih akan mendorong kalsium keluar, dalam waktu tertentu ini berpengaruh pada kepadatan tulang, jadi perlu hati-hati mengonsumsinya.
“Bahkan sebenarnya risiko ini tidak hanya untuk yang memiliki lambung sensitif tetapi semua orang. Memang mereka yang lambungnya sensitif akan lebih cepat terpicu dan merasakan keluhan. Secara publik, sebenarnya BPOM memang sudah menentukan dosis aman, tetapi kadang-kadang masyarakat mengonsumsi lebih dari keperluan, baik frekuensi maupun dosisnya.
Rita melanjutkan, bahwa kandungan zat-zat tersebut juga kita dapat dari makanan lain. Intinya, konsumsi zat-zat seperti larutan soda dan pengawet tadi dalam waktu tertentu akan mempengaruhi kesehatan pencernaan dengan manifestasi klinis seperti disebutkan tadi. Tak heran ada yang sampai mengalami keluhan seperti orang keracunan, setelah konsumsi merasa mual, pusing, bisa ada yang sampai muntah, nafsu makan berkurang, hingga iritasi pada kerongkongan. Jadi tidak hanya di lambung,” kata dia.
Selanjutnya Dr. Rita Ramayulis juga menambahkan bahwa makin sedikit campuran zat pengawet ataupun zat-zat pengikat lain tentu makin baik.
“Sebenarnya kan kita tidak memerlukan zat lain selain yang kita cari, apalagi jika ada efek negatif dari kelebihan kelebihan zat pengawet ataupun tambahan soda. Kemudian perhatikan juga dosisnya dan teknologi farmasi yang digunakan. Apakah keasamannya telah diolah agar lebih rendah. Itu semua perlu dipelajari agar kita bisa mengambil keputusan dengan tepat,” jelas Dr. Rita Ramayulis.