Aplikasi tersebut juga mengukur seberapa banyak interaksi sosial yang dilakukan oleh peserta setiap hari, dengan mendeteksi percakapan mereka lewat mikrofon ponsel.
Selain itu, para peserta juga ditanya mengenai kesejahteraan mereka secara keseluruhan, salah satunya adalah tingkat stres mereka.
Dari uji yang dilakukan, antara pukul 9 pagi dan 8 malam, para peserta diminta untuk melaporkan stres harian mereka dengan mengetuk gambar pada skala 1 (tanpa stres) hingga 16 (stres ekstrim).
Pengujian ini dikenal sebagai metodologi fotografi yang dikembangkan oleh peneliti lain, yang dikenal sebagai ‘Pengukur stres fotografi seluler’.
Dari penelitian sebelumnya, metodologi ini dianggap sangat berkorelasi dengan stres psikologis seseorang. Selain itu, metode ini dianggap efektif dalam pengambilan sampel longitudinal.
“Dengan memanfaatkan teknologi penginderaan seluler, penelitian kami merupakan yang pertama untuk menguji hubungan temporal antara stres dan interaksi sosial,” ungkap rekan studi, Alex DaSilva sekaligus mahasiswa Ilmu Psikologi dan Otak di Dartmouth.
“Temuan kami menunjukkan, tingkat stres yang lebih tinggi pada satu hari memprediksi penurunan interaksi sosial di hari berikutnya. Juga sambil memperhitungkan tingkat aktivitas, tidur, dan waktu yang dihabiskan di rumah,” pungkas DaSilva.