Suara.com - Temuan terbaru tentang autoantibodi pada pasien Covid-19 menjadi penyebab mengapa seseorang mengalami tingkat keparahan berbeda usai terinfeksi.
Bahkan, ilmuwan juga mengatakan autoantibodi turut berpengaruh terhadap peningkatan risiko mengalami long Covid-19. Benarkah demikian?
Melansir BBC Indonesia, penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Communications menyebut bahwa satu dari 5 pasien Covid-19 di rumah sakit mengembangkan autoantibodi dalam seminggu pertama mendapat perawatan.
Para peneliti dari Stanford Universitu menemukan bahwa dalam sepekan pertama, 20 persen mengembangkakn autoantibodi baru yang tidak ditemukan saat pertama kali dirawat.
Baca Juga: Mengenal Autoantibodi, Penyebab Covid-19 Sebabkan Keparahan Berbeda untuk Setiap Orang
Pemimpin riset sekaligus profesor imunologi dan reumatologi di Stanford Medicine, Paul J. Utz mengatakan temuan ini juga bisa menjelaskan mengapa beberapa gejala Covid bertahan berbulan-bulan bahkan setelah penyakitnya sembuh. Kondisi ini dikenal sebagai long Covid.
"Jika Anda cukup sakit karena Covid-19 sehingga berakhir di rumah sakit, Anda mungkin tidak akan keluar masa sulit bahkan setelah Anda pulih."
Di Inggris, para peneliti di Imperial College London menemukan autoantibodi pada pasien long Covid, yang tidak ada pada orang yang pulih dengan cepat dari virus, atau yang belum dites positif mengidap penyakit tersebut.
Profesor Danny Altmann, yang memimpin tim peneliti di Imperial College, berkata kepada BBC bahwa mereka sedang mencari apakah long Covid dapat didiagnosis dengan cara mengidentifikasi autoantibodi yang baru saja muncul.
Penelitian ini masih pada tahap awal, tapi satu hasil yang mungkin adalah tes yang cukup sederhana untuk digunakan dalam proses operasi dokter.
Baca Juga: Dokter Ungkap Manfaat Lain Karaoke: Bisa Latih Fisik Pasien Long Covid-19!
"Kami sangat berharap tidak hanya menuju diagnostik, tapi juga wawasan terapeutik. Kami berharap ini akan menjelaskan mekanisme dan perawatan khusus," kata Altmann.
Bagi para ahli, temuan ini juga dapat menjadi alasan untuk menggenjot vaksinasi.
Dalam infeksi virus yang tidak terkontrol dengan baik, virus bertahan untuk waktu yang lama.
Di sisi lain, kata Profesor Utz, respons imun yang intensif terus memecah partikel virus menjadi beberapa bagian dan membingungkan sistem kekebalan tubuh.
Bagaimanapun, vaksin hanya mengandung protein lonjakan tunggal atau instruksi genetik untuk memproduksinya. Oleh karena itu, sistem kekebalan tubuh tidak terpicu aktivitas mendadak yang dapat menyebabkan produksi autoantibodi.
Walaupun temuan terbaru ini menarik, para ilmuwan memperingatkan bahwa respons autoantibodi bukanlah penyebab seluruh dampak Covid yang parah.
Mekanisme lain yang sedang diteliti adalah respon imun yang terlalu aktif yang terjadi pada beberapa kasus Covid parah.
Produksi protein yang disebut sitokin dapat mencapai tingkat yang berbahaya dan menyebabkan kerusakan pada sel-sel tubuh. Situasi itu disebut badai sitokin.
Kita masih belum mengerti persis apa yang terjadi di sel kita ketika virus corona memasuki tubuh kita.
Hasil dari pertempuran dalam tubuh itulah yang menentukan tingkat keparahan Covid, dan pada akhirnya, kemampuannya menyebabkan kematian.