Pakar Jelaskan Hubungan Mikrobiota Usus dengan Masalah Kesehatan Mental

Risna Halidi Suara.Com
Senin, 27 September 2021 | 20:26 WIB
Pakar Jelaskan Hubungan Mikrobiota Usus dengan Masalah Kesehatan Mental
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Usus dalam tubuh manusia dilapisi oleh setidaknya 100 juta sel saraf yang sebagian besar terhubung dengan otak. Sel saraf tersebut bisa berkomunikasi langsung dengan otak. Misalnya memberikan sinyal ketika merasa lapar, atau saat kenyang.

Di sisi lain, gut microbiota atau mikrobiota usus, yang berisi triliunan mikroorganisme dengan sekitar 2000-3000 spesies yang berbeda serta total gen sekitar 150 kali lebih banyak dari gen manusia, memiliki peranan penting di dalam kesehatan tubuh.

Perkembangan gut microbiota dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu diet (pola makan), genetik, umur, daerah, kebiasaan, aktivitas fisik, obat-obatan, dan faktor yang lain. Namun, di antara faktor-faktor ini, diet merupakan faktor utama.

Hal itu disampaikan Prof. Dr. Lukas Van Oudenhove, MD, PhD selaku pembicara rangkaian webinar Power Talk Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L) dengan tema “The Microbiota- Gut – Brain Axis: Hype or Revolution?”.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Memengaruhi Kesehatan Mental, Zendaya Sampai Pergi ke Terapis!

Kata Lukas, microbiome usus berperan penting dalam fungsi fisiologis, di antaranya memfasilitasi metabolisme, membantu memperkuat stabilitas lapisan penghalang usus, memberikan nutrisi bagi sel usus, serta menghasilkan neurotransmitter.

Lukas Van Oudenhove yang juga merupakan Associate Research Professor, Laboratory for Brain-Gut Axis Studies (LaBGAS), Katholieke Universiteit (KU) Leuven menyatakan bahwa stres dapat mengganggu hubungan yang biasanya stabil antara bakteri usus dan inangnya, sehingga menimbulkan inflamasi usus.

“Memberikan makakan dan minuman yang dikenal sebagai sumber probiotik penting untuk fungsi sistem imunitas tidak hanya mengatasi peradangan, tapi juga mengurangi perilaku terkait stress,” kata Lukas.

Adapun makanan sumber probiotik misalnya, tempe, kimchi, Sauerkraut (fermentasi sayur), yoghurt dan lain sebagainya.

Sederhananya, otak mengirim sinyal ke usus melalui sistem kontrol tubuh, sistem saraf otonom. Usus berkomunikasi dengan otak melalui hormon kekebalan, dan sisteml saraf. Saluran komunikasi inin membuat usus dan otak menjadi dua organ yang erat terhubung dalam tubuh kita.

Baca Juga: 7 Jenis Self Care, Tanamkan Rasa Peduli pada Diri Sendiri

Pasien gangguan otak, mengalami perubahan komposisi dan fungsi mikroba dalam usus mereka. Usus mereka mudah meradang. Oleh karenanya pengaturan jenis dan pola makan pada penderita gangguan otak seperti Parkinson dan autism sangat penting mengendalikan penyakit ini.

“Bakteri usus menghasilkan neurotransmitter, seperti serotonin dan dopamin yang berperan mengatur suasana hati. Ini semacam hubungan timbal balik. Otak melakukan hal-hal yang mempengaruhi bakteri usus, dan bakteri usus melakukan hal-hal yang mempengaruhi otak,” jelasnya.

Namun, keragaman bakteri dan caranya berinteraksi bisa mempengaruhi sinyal yang dikirimkan ke otak lewat saraf dan jalur kimiawi yang berbasis di sistem pencernaan.

"Dengan demikian, kekurangan zat gizi dalam diet yang mengakibatkan berkurangnya keragaman populasi bakteri usus bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental," pungkas Lukas seperti yang Suara.com kutip dari siaran pers, Senin (27/9/2021).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI