Suara.com - Stigma negatif terhadap pengidap epilepsi bisa berdampak buruk bagi pasien itu sendiri. Dokter spesialis saraf dr. Irawati Hawari, Sp. S., mengatakan, pengobatan epilepsi sebenarnya tidak hanya secara medis tapi juga psikis.
Namun stigma negatif tentang epilepsi kerap kali memperparah kesehatan mental pengidapnya.
"Dibalik masalah medis itu banyak sekali masalah psikososial yang timbul. Hal itu karena masih banyak mitos yang beredar," kata dokte Irawati dalam webinar Brain Awareness Week, Kamis (23/9/2021).
Meski sudah ditetapkan sebagai penyakit medis oleh para ilmuwan dunia, namun tak bisa dipungkiri kalau mitos yang menganggap epilepsi sebagai kutukan masih ada di masyarakat.
Baca Juga: Epilepsi: Gejala, Cara Mengatasi dan Obatnya
Dokter Irawati menjelaskan bahwa epilepsi sebenarnya gangguan pada sel saraf otakyang sifatnya menahun. Meski begitu penanganannya masih bisa diobati.
"Ada juga mitos yang mengatakan kalau epilepsi terjadi karena kerasukan, apalagi mereka yang epilepsi fokal di bagian otak samping. Itu kadang-kadang juga masyarakat mengatakan bahwa penderita kerasukan, padahal itu terjadi karena kemungkinan adanya kebangkitan listrik yang abnormal di dalam otak sehingga muncul gejala, baik itu seperti kerasukan, perubahan perilaku atau kejang," paparnya.
Mitos lainnya beredar kalau epilepsi bisa menular melalui air liur. Padahal sebenarnya epilepsi bukan penyakit menular, tegas dokter Irawati.
Ia menyampaikan bahwa mitos-mitos tersebut yang pada akhirnya menimbulkan stigma negatif bagi pasien epilepsi. Sehingga seringkali pasien diasingkan dari kehidupan sosial.
Padahal, dokter Irawati mengatakan bahwa faktor sosial menjadi yang paling besar mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi. Oleh sebab itu, aanya komunitas epilepsi, menurut dokter Irawati, membantu pasien epilepsi untuk bisa menjalin hubungan sosial dan baik itu kesehatan psikisnya.
ReplyForward
Baca Juga: Viral Cewek Kejang Dalam KRL di Stasiun Tanah Abang, Netizen: Tolongin Dong