Covid-19 Serang Paru, Tapi Perilaku Merokok Selama Pandemi Tidak Berubah

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Rabu, 22 September 2021 | 11:29 WIB
Covid-19 Serang Paru, Tapi Perilaku Merokok Selama Pandemi Tidak Berubah
Ilustrasi-foto rontgen paru-paru. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Infeksi Covid-19 yang menyerang paru-paru dan saluran pernapasan rupanya tidak memengaruhi perilaku merokok di Indonesia.

Berdasarkan studi terbaru yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), tidak ada perubahan perilaku merokok yang berarti pada periode sebelum dan saat pandemi, baik dari sisi kuantitas maupun intensitas merokok.

Hasil studi menyebut 62,4 persen responden tidak mengalami perubahan intensitas merokok selama pandemi. Bahkan, 13,9 persen mengatakan intensitas merokok semakin meningkat.

Temuan menarik lainnya, meski responden mengaku kondisi keuangan selama pandemi berkurang, intensitas merokok pada kelompok pendapatan rendah (5 juta ke bawah) sama tingginya dengan kelompok berpendapatan tinggi (10-20 juta).

Baca Juga: Dafatr Aplikasi Cari Jodoh, Cocok untuk di Masa Pandemi COVID-19

Ilustrasi merokok.[Unsplash/Irina Iriser]
Ilustrasi merokok.[Unsplash/Irina Iriser]

Separuh responden pada kelompok rendah mengakali kurangnya pendapatan dengan mengganti ke rokok yang harganya leih murah.

"Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlu adanya intervensi kebijakan, baik yang memengaruhi harga rokok maupun non-harga, karena kedua kebijakan tersebut bersifat komplementer, dan masing-masing memiliki peranan dalam pengendalian konsumsi rokok," tutur Irfani Fithria Ummul Muzayanah, Ph.D dari Tim Riset PKJS-UI, dalam keterangan yang diterima Suara.com.

Penelitian dilakukan lewat survei secara daring dan menyasar responden wanita berwarga negara Indonesia yang memiliki suami perokok di rumah, studi ini berhail menjaring sebanyak 779 responden dari berbagai latar belakang sosio-demografi.

Metode yang digunakan adalah metode purposive non-probability sampling. Data yang diperoleh dari survei daring tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode statistik deskriptif.

Studi ini bertujuan untuk melihat bagaimana perilaku merokok selama pandemi COVID-19 dan dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga secara holistik. Tidak hanya dari aspek kesehatan, tetapi dampaknya juga dilihat dari aspek kesejahteraan material dan kesejahteraan psikologis.

Baca Juga: Dicari Saat Pandemi, Ini Mitos Tentang Keaslian Madu

Mengambil sudut pandang dari istri, selaku perokok pasif yang terpapar asap rokok di rumah, studi ini memberikan perspektif baru bagaimana rokok dapat membahayakan rumah tangga secara lebih luas dan dalam.

Peneliti menemukan dampak perilaku merokok terhadap aspek kesejahteraan keluarga terbagi menjadi tiga yakni:

Aspek Kesehatan

Lebih dari 48 persen responden merasa bahwa kebiasaan merokok suaminya memiliki pengaruh yang negatif terhadap kondisi kesehatan keluarganya baik istri itu sendiri, anak-anak maupun anggota keluarga lain yang tinggal serumah.

Selain itu, lebih dari separuh responden (56 persen) setuju bahwa kebiasaan suami merokok di rumah menyebabkan tercemarnya kualitas udara di lingkungan rumah.

Aspek kesejahteraan materi

63 persen responden merasa pengeluaran suaminya untuk membeli rokok sangat besar dan hampir 50 persen responden juga merasa bahwa pengeluaran suami untuk membeli rokok telah menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran rumah tangga untuk keperluan yang lain.

Secara umum, 47 persen responden setuju bahwa kebiasaan merokok suami turut berkontribusi dalam menurunkan standar kualitas hidup rumah tangga mereka. Temuan ini menguatkan dugaan bahwa crowding out effect pada alokasi pengeluaran rumah tangga terjadi karena belanja rokok suami.

Aspek psikologis

65 persen responden merasa tidak tenang dan tidak bahagia dengan kebiasaan merokok suaminya. Sebesar 89 persen juga ingin suaminya berhenti merokok yang didorong rasa keberatan jika anak-anaknya akan mengikuti kebiasaan merokok suaminya.

Terkait perilaku merokok anak dalam keluarga, data hasil survei menunjukkan bahwa 6,14 persen anak responden adalah seorang perokok aktif. Ironisnya, 72 persen istri berpendapat bahwa anak-anaknya merokok karena mengikuti kebiasaan anggota keluarganya yang merokok (dalam hal ini orang tuanya) dan juga disebabkan alasan pergaulan atau ikut-ikutan teman.

Di saat bersamaan, penelitian ini juga memberikan tiga rekomendasi kebijakan untuk pemerintah, yakni:

1. Kementerian Kesehatan perlu memperkuat inovasi layanan konseling maupun hotline untuk memberikan bantuan dan pendampingan bagi orang-orang yang ingin berhenti merokok dengan dukungan tenaga kesehatan profesional.

2. Kementerian Keuangan dapat menaikkan harga rokok melalui kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), menaikkan harga jual eceran (HJE) minimum, dan penyederhanaan strata tarif CHT untuk menekan keterjangakauan pembelian rokok.

Langkah ini tentu saja juga harus didukung secara terusmenerus oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerja sama dengan DPR untuk membuat suatu road map bersama yang mendukung kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), menaikkan harga jual eceran (HJE) minimum, dan penyederhanaan strata tarif CHT.

3. Langkah bersama antara Kemenko PMK, Kementerian Kesehatan, Bappenas, dan DPR RI untuk mendukung revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 mengenai pelarangan penjualan rokok secara batangan (ketengan) serta mendorong dikeluarkannya kebijakan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perdagangan untuk pelarangan penjualan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI