Suara.com - Temuan terbaru terkait kebiasaan merokok diungkap Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PJKS-UI). Mereka menemukan mayoritas perempuan sebagai istri mengakui kebiasaan merokok suami menganggu keuangan rumah tangga.
Riset yang berjudul 'Perilaku Merokok Selama Pandemi Covid-19 dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Keluarga' ini, melibatkan 779 responden perempuan Indonesia yang memiliki suami perokok di rumah.
Survei dilakukan secara daring, dengan mengambil sudut pandang istri, selaku selaku perokok pasif yang terpapar asap rokok di rumah.
Dijelaskan peneliti PJKS-UI, Irfani Fithria Ummul Muzayanah, Ph.D, bahwa mayoritas atau 63 persen responden mengakui pengeluaran uang rokok suami sangatlah besar.
Baca Juga: Seluruh Elemen Industri Hasil Tembakau Tolak Kenaikan Cukai ke Istana
Bahkan nyaris setengah responden mengakui kebiasan membeli rokok ini menganggu keuangan rumah tangga.
"Hampir 50 persen responden juga merasa bahwa, pengeluaran suami untuk membeli rokok telah menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran rumah tangga untuk keperluan yang lain," ujar Irfani dalam siaran pers yang diterima suara.com, Selasa (21/9/2021).
Irfani juga menjelaskan, berdasarkan hasil survei para istri mengakui kebiasaan merokok suami menganggu standar kualitas rumah tangga, angkanya sebesar 47 persen responden yang merasakan hal tersebut.
"Temuan ini menguatkan dugaan bahwa crowding out effect (sangat mempengaruhi) alokasi pengeluaran rumah tangga terjadi karena belanja rokok suami," ungkap Irfani.
Irfani menambahkan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan perlunya intervensi kebijakan, baik yang memengaruhi harga rokok maupun non-harga.
Baca Juga: Duh! Tak Diberi Uang Rokok, Pemuda di Kota Solo Tega Aniaya Ibu Kandungnya Sendiri
Ini karena kedua kebijakan tersebut bersifat komplementer, dan
masing-masing memiliki peranan penting dalam pengendalian konsumsi rokok.
"Kementerian Kesehatan perlu memperkuat inovasi layanan konseling maupun hotline, untuk memberikan bantuan dan pendampingan bagi orang-orang yang ingin berhenti merokok dengan dukungan tenaga kesehatan profesional," saran Irfani.
Beberapa rekomendasi kebijakan berdasarkan survei PJKS-UI di antaranya sebagai berikut:
1. Kementerian Keuangan dapat menaikkan harga rokok melalui kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), menaikkan harga jual eceran (HJE) minimum, dan penyederhanaan strata tarif CHT untuk
menekan keterjangakauan pembelian rokok.
Langkah ini tentu saja juga harus didukung secara terus menerus oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerja sama dengan DPR untuk membuat suatu road map bersama yang mendukung kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), menaikkan harga jual eceran (HJE) minimum, dan penyederhanaan strata tarif CHT.
2. Langkah bersama antara Kemenko PMK, Kementerian Kesehatan, Bappenas, dan DPR RI untuk mendukung revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 mengenai pelarangan penjualan rokok secara batangan atau eceran.
Serta mendorong dikeluarkannya kebijakan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perdagangan untuk pelarangan penjualan ini.