Suara.com - Kasus penyalahgunaan narkotika menurut ahli tidak seharusnya menjadi masalah hukum. Sebab, narkotika sejatinya adalah masalah kesehatan yang perlu diobati.
Dalam sidang permohonan uji materi UU Narkotika baru-baru ini, Stephen Rolles, Analis Kebijakan Senior di Transform Drug Policy Foundation yang bermarkas di Inggris, menyampaikan bahwa semua obat memiliki risiko bahkan ketika digunakan sesuai petunjuk.
"Banyak obat-obatan diketahui memiliki efek samping dan risiko yang harus dikelola dengan hati-hati oleh dokter, ahli farmasi, dan profesional kesehatan lainnya. Tidak hanya itu, obat-obatan seperti pil sakit kepala yang biasa dibeli di warung pun memiliki risiko jika digunakan secara tidak benar. Parasetamol misalnya, dapat menyebabkan kerusakan hati atau kematian jika dikonsumsi terlalu banyak," kata Rolles, dalam keterangan resmi dari Rumah Cemara yang diterima Suara.com, Kamis (16/9/2021).
Kekhawatiran seputar penyalahgunaan obat tidak dapat secara efektif diatasi oleh model pengendalian obat-obatan yang terlalu ketat atas ketakutan berlebihan akan penyelewengan dan penyalahgunaan.
Baca Juga: Waspada, Paparan Polusi Udara saat Hamil Tingkatkan Risiko Kesehatan Jangka Panjang Anak
Sebagian besar obat yang disalahgunakan bukanlah obat yang diselewengkan, melainkan obat yang diproduksi dan dipasok secara ilegal. Kontrol atau pelarangan yang terlalu ketat tidak akan berdampak pada tingkat penyalahgunaan, namun tanpa disadari justru dapat merugikan pasien karena menghalangi dokter memberikan perawatan yang optimal.
Rolles menekankan, membatasi ketersediaan obat hanya dengan resep, di rumah sakit dan lingkungan perawatan kesehatan lainnya yang diawasi, atau melalui apoteker berlisensi dan terlatih dengan benar, umumnya terbukti sebagai model kendali drugs (obat-obatan, narkoba) yang sangat efektif.
Meski begitu, penyelewengan dalam tingkat tertentu memang tidak bisa dihindarkan. Namun Rumah Cemara mencatat, pengalaman global dan panduan PBB mengarah pada sistem untuk regulasi narkoba berbasis risiko yang bertanggung jawab melalui kerangka kelembagaan yang mapan, alih-alih menutup total kemungkinan pemanfaatan narkoba untuk tujuan medis.
"Sudah tepat apabila persoalan ini sepatutnya memang ada di ranah kesehatan masyarakat bukan di ranah pidana," tulis Rumah Cemara.
Seperti diketahui, perjalanan menggugat ketentuan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang penggunaan narkotika golongan I, salah satunya ganja, untuk pelayanan kesehatan telah berlangsung sejak November 2020 lalu.
Baca Juga: Masalah Gigi Ngilu? Berikut Cara Mencegah Penyakit Tersebut
Gugatan dilakukan Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan bersama dengan tiga ibu dari anak-anak dengan Cerebral Palsy (penyakit lumpuh otak) melalui permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi.
Para pemohon berdalil pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1).
Dalam persidangan sebelumnya (30/8/2021), berlangsung pemeriksaan ahli yang diajukan para pemohon, yakni Asmin Fransiska (Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta), David Nutt (pakar dari Imperial College London), dan Musri Musman (Guru Besar Kimia Bahan Alam dari Universitas Syah Kuala, Banda Aceh).
Dengan demikian, sidang Mahkamah Konstitusi telah memeriksa 4 ahli yang diajukan pemohon. Agenda sidang selanjutnya Selasa, 12 Oktober 2021 dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang diajukan para pemohon.