Suara.com - Seolah tidak cukup anak dengan bibir sumbing atau celah langit-langit mulut merasa berbeda secara fisik, di luar itu mereka juga kerap mendapatkan stigma buruk dan bullying di masyarakat.
Sehingga kata Psikolog Klinis, Hanlie Muliani, M. Psi, anak dengan bibir sumbing kerap mendapat terpaan psikis dari dalam dan luar dirinya.
Misalnya, dalam dirinya sudah merasa tidak seberuntung anak-anak lain, tapi masih diperlakukan tidak adil, ditolak dari lingkungan, bahkan merasa terintimidasi.
“Tak jarang kondisi ini justru karena kurangnya pemahaman masyarakat akan apa itu bibir sumbing dan bagaimana kita harus menyikapinya," jelas Hanlie dalam acara webinar Smile Train Indonesia, Jumat (10/9/2021).
Baca Juga: Konsultasi Psikolog Lewat Telemedicine, Seberapa Efektif Atasi Masalah Mental?
Hanlie berharap bullying dan intimidasi terhadap anak dengan bibir sumbing bisa dihentikan, karena bisa berdampak pada psikologi anak tersebut, dan membuat mereka tumbuh sebagai anak yang minder, putus asa, dan kecewa pada kehidupan mereka.
"Oleh karena itu, tindakan operasi juga perlu disertai dengan penanganan komprehensif yang meliputi pendampingan psikologis, baik kepada pasien maupun keluarganya. Ajakan untuk Stop Bullying Bibir Sumbing! adalah sesuatu yang baik dan perlu kita laksanakan secara konsisten,” jelas psikolog dari Sahabat Orang Tua & Anak (SOA) Parenting & Education Support Center itu.
Sekedar informasi, anak dengan bibir sumbing bukanlah sebuah aib atau kutukan, sebagaimana stigma yang selama ini berkembang di masyarakat, khususnya di pedesaan.
Kondisi ini dialami 1 dari 700 bayi yang lahir di Indonesia, mengalami bibir sumbing atau celah langit-langit mulut.
Tidak hanya berdampak secara fisik, anak dengan kondisi ini harus segera mendapatkan penanganan. Semakin lambat tertangani, semakin besar pula dampaknya terdapat fisik dan psikis anak yang alami bibir sumbing atau celah langit-langit mulut.
Baca Juga: Data Global: Setiap 3 Menit, 1 Anak Terlahir dengan Kondisi Bibir Sumbing