Pandemi Bikin Risiko Ibu Alami Depresi Meningkat, Ini Sebabnya

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Jum'at, 10 September 2021 | 12:01 WIB
Pandemi Bikin Risiko Ibu Alami Depresi Meningkat, Ini Sebabnya
Ibu Stres Saat WFH. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pandemi COVID-19 membuat risiko seseorang mengalami gangguan jiwa dan masalah kejiwaan meningkat.

Bahkan menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, risiko depresi meningkat pada ibu, akibat beban dan tanggung jawab yang bertambah.

Hasto menjelaskan pandemi COVID-19 menyebabkan seorang ibu harus mendominasi peran dalam suatu keluarga. Beberapa peran yang dilakukan yaitu mengasuh anak, membelikan kebutuhan rumah tangga, mengingatkan kebutuhan hidup sehat, mengingatkan beribadah serta mengingatkan keluarga untuk selalu berfikir positif.

Berdasarkan data survei yang dilakukan oleh pihaknya, dominasi peran tersebut mengakibatkan sebanyak 2,5 persen perempuan telah mengalami depresi selama masa pandemi COVID-19.

Ilustrasi ibu kelelahan dan stres saat pandemi [shutterstock]
Ilustrasi ibu kelelahan dan stres saat pandemi [shutterstock]

Masalah pada ibu selanjutnya yang dia beberkan, walaupun pemerintah telah melakukan sosialisasi vaksinasi dinyatakan aman untuk ibu hamil, rupanya masih banyak ibu hamil yang ragu untuk melakukan vaksinasi.

Ia mengatakan hal ini perlu menjadi perhatian bersama mengingat angka kematian ibu dan bayi telah meningkat selama pandemi.

“Padahal dari literatur sudah jelas. Itu bisa kita kerjakan dan tidak masalah. Oleh karena itu saya kira sosialisasinya seperti ini (penting dilakukan). Bagi BKKBN, ini penting karena kematian ibu dan bayi meningkat selama pandemi,” kata dia.

Menurutnya, permasalahan yang harus dihadapi oleh keluarga di Indonesia selama masa pandemi COVID-19 meningkat.

Kemiskinan yang menyebabkan angka pengangguran meningkat, menjadi permasalahan serius bagi pihaknya karena berpengaruh terhadap jumlah anak yang mengalami kekerdilan (stunting). Hal tersebut terjadi karena pendapatan yang berkurang, membuat anak mengalami keadaan wasting (gizi pada anak tidak terpenuhi) meningkat sehingga menjadi lebih kurus.

Baca Juga: Kaum Ibu di Sleman Inginkan PTM, Ajeng: Sekolah Daring Rawan Obesitas Hingga Mata Minus

Hasto menegaskan kondisi tersebut dikhawatirkan dapat mempengaruhi masa depan bangsa Indonesia yang memiliki sebanyak 23 juta anak baduta (bayi usia dua tahun).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI