Suara.com - Setelah dihebohkan dengan virus corona varian Delta yang konon lebih cepat menular, kini masyarakat kembali dihebohkan dengan mutasi baru virus corona, yaitu varian Mu.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengatakan bahwa varian Mu pertama kali terdeteksi di Kolombia pada Januari 2021.
Meski demikian, ahli virologi Universitas Udayana Bali, Prof. I Gusti Ngurah Kade Mahardika, mengatakan bahwa penyebaran varian Mu tidak secepat penyebaran varian Delta.
"Bisa dilihat daya sebar varian Mu tidak secepat varian delta. Justru varian delta ini lebih cepat dari Mu. Selain itu, belum ada bukti apakah lebih ganas varian Mu atau varian delta," kata Prof. Kade Mahardika saat dikonfirmasi melalui telepon di Denpasar, Bali, Senin (6/9/2021), seperti dikutip dari Antara.
Sementara itu, untuk tingkat keparahan dari masing-masing varian virus corona tersebut, belum ada data dan bukti yang pasti.
"Untuk yang sudah vaksinasi, saya kira masih berkhasiat dengan kekebalan tubuh yang baik. Sehingga belum perlu untuk dikhawatirkan," katanya.
Menurut Prof. Kade Mahardika, munculnya varian Mu ini bisa jadi turunan dari varian Alpha yang menyebar dari Inggris. Ia pun menegaskan kembali mengenai penularan varian Mu yang tidak semasif varian Delta.
"Bahkan varian Delta muncul bulan belakangan daripada varian Mu tapi sudah dominan. Di dunia, 70-90 persen virus yang bersirkulasi adalah varian Delta," katanya.
Ia mengatakan bahwa saat ini yang penting adalah memperketat keluar masuknya orang asing ke Indonesia. Aturan PCR dan karantina juga tidak boleh dilonggarkan.
"Yang penting masuknya orang asing ke Indonesia dan diikuti PCR negatif, lalu karantina 5 hari. PCR negatif itu jangan dilonggarkan dan tetap ketat dijalankan. Saya yakin belum ada negara yang aman dan bisa menekan masuknya varian baru dari luar. Jadi seminimal mungkin bisa cegah risiko masuk ke Indonesia," pungkasnya.
Baca Juga: Fauci: Varian Mu Virus Corona Berpotensi Bisa Menghindari Antibodi yang Ada