Belajar dari Kasus Pelecehan Pegawai KPI: Jiwa Terguncang Korban Kekerasan Seksual

Jum'at, 03 September 2021 | 19:30 WIB
Belajar dari Kasus Pelecehan Pegawai KPI: Jiwa Terguncang Korban Kekerasan Seksual
Ilustrasi perundungan pegawai KPI (Kolase Pixabay/Twitter @KPI_Pusat)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Indonesia tengah dihebohkan dengan isu perundungan yang menimpa salah satu pegawai Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.

Dalam kronologis yang disebar lewat pesan berantai WhatsApp, korban mengaku sudah bertahun-tahun menerima perundungan hingga kekerasan seksual dari teman-temannya.

Ia juga telah melaporkan gangguan tersebut ke atasan serta pihak kepolisian. Kasus ini sendiri telah diangkat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Korban yang berinisial MS berharap pihak KPI Pusat bisa meneruskan kasus tersebut dengan proses hukum.

Baca Juga: Jika Jadi Korban Bullying, Segera Lakukan 7 Hal Ini!

Ilustrasi kekerasan seksual (Shutterstock).
Ilustrasi kekerasan seksual (Shutterstock).

Dalam ilmu kejiwaan, apa yang dialami korban MS dapat berdampak besar pada kesehatan mentalnya.

Dikatakan oleh Dokter Spesialis Jiwa, dr. Lahargo Kembaren, setiap kekerasan seksual yang dialami baik laki-laki maupun perempuan akan membuat korbannya stres.

“Korban akan mengalami keluhan somatik (fisik), keluhan kognitif, keluhan psikologis (perasaan), dan keluhan perilaku,” ungkapnya saat dihubungi Suara.com, Kamis (2/9/2021).

Dalam kasus berat, korban akan mengalami Rape Trauma Syndrome, yang memiliki dua fase yaitu fase akut serta fase jangka panjang.

“Pada fase akut, ini terjadi setelah kejadian kekerasan seksual sampai dua hingga tiga minggu,” ungkapnya lebih lanjut.

Baca Juga: Polisi Akan Panggil Terduga Pelaku Pelecehan Seksual dan Perundungan Pegawai KPI

Pada fase akut korban akan mengalami gejala emosional yang kuat. Mulai dari mudah menangis, senyum dan tertawa tanpa sebab, terlihat tenang seakan tidak terjadi apa-apa, datar tapi juga merap mudah marah, merasa takut, cemas, dan shock.

“Reaksi akut di atas muncul karena ketakutan akan cedera fisik, keamanan dan kematian. Setelah korban merasa aman, maka akan muncul berbagai gejala, mulai dari mood swing, merasa terhina, malu, merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berdaya, merasa tidak punya harapan, marah, ingin balas dendam, takut kejadian berulang,” jelas dr. Lahargo Kembaren.

Sedangkan pada fase jangka panjang, korban bisa kembali beradaptasi dengan keadaan. Namun jika tidak terkontrol, maka yang terjadi bisa mengalami berbagai masalah gangguan jiwa seperti PTSD (post traumatic stress disorder), depresi, kecemasan, psikomatik. dan gangguan seksualitas.

Ilustrasi stres, depresi [shutterstock]
Ilustrasi stres, depresi [shutterstock]

Saat korban mengalami hal tersebut, maka korban perlu mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat, sehingga mereka bisa cepat pulih.

“Harapan untuk pulih cukup besar, apabila segera diberikan penanganan oleh profesional seperti psikiater, perawat jiwa, psikolog, konselor, dan pekerja sosial,” ucapnya.

Pertanyaannya kini, apa saja terapi yang bisa diberikan pada korban kekerasan seksual?
Ada beberapa terapi yang bisa dilakukan bagi korban kekerasan seksual, di antaranya:

  • Psikoterapi suportif, reedukatif, rekonstruktif
  • Psikofarmaka: obat anti depresan, anti ansietas, anti psikotik, mood stabilizer
  • Rehabilitasi Psikososial
  • Transcranial Magnetic Stimulation, Neurofeedback
  • Support System: dukungan dari keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI