Mengerikan! Ini Dampak Kematian Tenaga Kesehatan yang Tak Bisa Digantikan dengan Apapun

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Rabu, 01 September 2021 | 18:05 WIB
Mengerikan! Ini Dampak Kematian Tenaga Kesehatan yang Tak Bisa Digantikan dengan Apapun
Sejumlah petugas tenaga kesehatan menjemur pelindung wajah yang telah didekontaminasi di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran di Jakarta, Kamis (12/11/2020). [ANTARA FOTO/M Risyal Hdayat]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kematian tenaga kesehatan menjadi sorotan penting di tengah pengendalian pandemi Covid-19 di Indonesia. Meninggalnya tenaga kesehatan tidak hanya menyulitkan pengendalian pandemi dari sisi tenaga, tapi juga dari sisi keilmuan.

Menurut ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman, sejumlah dokter spesialis senior, profesor, dan guru besar juga termasuk ke dalam tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19.

"Kita benar-benar harus membayar mahal atas kehilangan tenaga kesehatan ini. Itu mengapa sejak awal kami menyerukan perkuat perlindungan terhadap tenaga kesehatan," tegas Dedi, melansir BBC Indonesia.

Per 17 Agustus 2021, tercatat ada 1.891 tenaga kesehatan yang meninggal sepanjang pandemi Covid-19.

Baca Juga: Cakupan Vaksinasi Covid-19 Indonesia Tertinggi Keenam di Dunia, Nakes Sudah 100 Persen

Sejumlah tenaga kesehatan berjalan keluar dari ruang dekontaminasi untuk melakukan perawatan terhadap pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Jumat (22/1/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Sejumlah tenaga kesehatan berjalan keluar dari ruang dekontaminasi untuk melakukan perawatan terhadap pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Jumat (22/1/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Rinciannya 640 dokter; 637 perawat; 377 bidan; 98 dokter gigi; 34 ahli gizi; 33 ahli teknologi laboratorium, dan 13 ahli kesehatan masyarakat.

Dedi menyebut dengan meninggalnya para profesor dan guru besar, ilmu yang dimiliki terkait spesialisasinya di bidang kedokteran dan keperawatan. Kehilangan ini tidak bisa digantikan oleh apapun, meski tenaga kesehatan baru muncul setiap tahun.

"Tahun depan ada pasti ada lulusan dokter dan perawat baru tapi yang susah membayar pengalaman dan profesionalisme. Butuh waktu pastinya," terang Dedi.

Ia menilai, seharusnya angka kematian tenaga kesehatan bisa ditekan jika dari awal pemerintah menyikapi dengan serius tuntutan perlindungan kepada mereka. Perlindungan yang dimaksud adalah pemberian alat pelindung diri (APD), vitamin, obat-obatan, dan tes Covid-19 berkala.

Di masa awal pandemi misalnya, kekurangan masker dan APD kerap dikeluhkan oleh para dokter. Akhirnya pada dokter terpaksa merogoh kocek sendiri untuk membeli APD atau mengandalkan donasi.

Baca Juga: Tepis Teguran Mendagri Belum Bayar Insentif Nakes, Bupati Madiun: Semua Sudah Clear

Terkait masalah yang dialami para tenaga kesehatan di masa pandemi, Guru Besar Pulmonologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Menaldi Rasmin, mengalami keletihan luar biasa yang membuat daya tahan tubuh mereka merosot sehingga gampang terinfeksi virus Corona.

"Lelah karena jumlah kasus kasus sempat turun tapi naik lagi. Ibarat perang enggak habis-habis. Capek kan?"

"Dokter dan perawat termasuk profesi yang selama 1,5 tahun ini tidak boleh cuti. Istirahat pun kalau positif Covid-19. Setelah sembuh, kerja lagi."

Gugurnya ribuan nakes itu pun, sudah pasti akan berdampak pada layanan kesehatan masyarakat.

Yakni akses masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan menjadi terbatas karena jumlah tenaga kesehatan semakin berkurang.

"Jadi akses publik untuk mendapatkan kesehatan, turun. Karena dokter dan perawat sedikit," jelas Prof Menaldi Rasmin.

Idealnya dokter dalam memberikan pelayanan adalah 1 banding 1.000 penduduk, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tapi di Indonesia rasio dokter dan penduduk adalah 4 banding 10.000.

Jumlah itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki 2 dokter per 1.000 penduduk.

Sementara mencetak satu dokter membutuhkan waktu lama, kata Menaldi.

"Dokter umum saja butuh sembilan tahun. Dokter spesialis 14 tahun."

Namun lebih dari itu, Dedi Supratman, khawatir dalam jangka panjang distribusi tenaga kesehatan antara di kota-kota besar dan daerah terpencil akan semakin timpang.

"Saat ini saja, kita ada masalah kuantitas. Di beberapa tempat yaitu kota besar terpenuhi. Tapi di daerah-daerah terpencil, sulit. Kalau kondisi sekarang ketersediaan nakes tidak ditambah, dan banyak yang wafat, akan semakin timpang di daerah-daerah terpencil," ungkapnya.

"Kalau nakesnya enggak ada, siapa yang akan menjalankan fungsi layanan kesehatan?" tutup Dedi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI