Cegah Malpraktik, Korea Selatan Wacanakan Ada CCTV di Ruang Operasi

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Rabu, 01 September 2021 | 14:16 WIB
Cegah Malpraktik, Korea Selatan Wacanakan Ada CCTV di Ruang Operasi
Ilustrasi CCTV. (Pixabay)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Demi mencegah meningkatnya kasus malpraktik di lingkungan kedokteran, parlemen Korea Selatan mengusulkan adanya kamera pengawas alias CCTV di ruang praktik.

Usulan ini kembali menarik perhatian sejak disuarakan pada tahun 2016. Saat itu, sejumlah ahli bedah di klinik swasta dituduh bertanggung jawab terhadap kematian pasein yang terjadi akibat malpraktik.

Jika dikabulkan, maka Korea Selatan akan menjadi negara maju pertama di dunia yang memiliki CCTV untuk merekam operasi pembedahan.

Kwon Dae-hee, seorang mahasiswa, meninggal akibat pendarahan pada Oktober 2016 setelah 49 hari koma usai menjalani bedah rahang di Seoul.

Baca Juga: Terekam CCTV, Aksi Kawanan Begal Pakai Parang di Padang Viral

Ilustrasi operasi. (Pixabay)
Ilustrasi operasi. (Pixabay)

Ibunya Lee Na-geum, 61 tahun, melakukan protes seorang diri di depan gedung parlemen sejak Januari 2018.

Lee mengatakan putranya dulu mengalami trauma akibat perundungan di sekolah karena dagunya yang menonjol.

Dia bertekad menjalani operasi bedah plastik dengan biaya 6,5 juta won (sekitar Rp 79,8 juta).

Lee mendapatkan rekaman CCTV dari operasi bedah putranya. Dia mengaku telah menyaksikan rekaman sepanjang tujuh setengah jam itu lebih dari 1.000 kali.

Lee dapat membuktikan bahwa operasi itu sebagian dilakukan oleh seorang asisten perawat dan seorang dokter magang, bukan kepala ahli bedah seperti yang dijanjikan.

Baca Juga: Aksi Perampokan Bersenpi Terjadi di Siang Bolong, Pelaku Kendarai Jeep

Akibatnya, Kwon mengalami koma dan kehilangan 3,5 liter darah. Dia meninggal 49 hari kemudian akibat pendarahan yang berlebihan.

Dengan bukti video itu, Lee menggugat rumah sakit dan kepala ahli bedah yang kemudian terbukti bersalah atas pembunuhan tak disengaja dan dihukum tiga tahun penjara.

"Adalah kejahatan medis jika orang lain --'sesosok hantu'-- melakukan pembedahan, dan bukan ahli bedah yang ditunjuk, tanpa sepengetahuan pasien," kata Lee.

"Ada banyak keluarga yang berduka dan tak beruntung, yang tidak bisa mengungkap kebenaran karena tak punya bukti fisik ketika orang sehat meninggal di ruang operasi."

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengamandemen UU Pelayanan Medis yang mewajibkan pemasangan kamera pengawas, terutama untuk mencegah dokter mendelegasikan prosedur operasi kepada petugas yang tidak berlisensi.

Pelanggaran terhadap aturan itu diancam dengan hukuman penjara maksimal lima tahun atau denda 50 juta won (Rp614,8 juta).

Hingga kini, upaya amandemen tersebut gagal lantaran lobi dari para dokter, kata Lee yang membentuk kelompok advokasi untuk keadilan medis dan hak-hak pasien.

RUU itu menghadapi tentangan dari para dokter, rumah sakit, dan kelompok kesehatan, termasuk Asosiasi Medis Korea (KMA) yang beranggotakan 140.000 orang.

KMA mengklaim pengawasan video akan merusak kepercayaan pada dokter, melanggar privasi pasien dan membuat dokter takut mengambil risiko untuk menyelamatkan pasien.

"Kami pikir kepercayaan adalah kunci dalam hubungan dokter-pasien… RUU itu mencegah dokter secara aktif merekomendasikan metode perlakuan dan perawatan pasien," kata juru bicara KMA Park Soo-hyun sebelum RUU itu disahkan.

"Para pasien telah mengungkapkan niatnya untuk tidak menjalani pembedahan jika CCTV terpasang di ruang operasi, yang akan berakibat pada kolapsnya bagian penting dalam perawatan kesehatan Korea Selatan."

Kim Seon-woong, ahli bedah plastik di sebuah klinik di Cheonan, Seoul selatan, mengatakan sudah saatnya kamera dipasang di ruang operasi untuk mencegah kejahatan, pelecehan dan kecelakaan medis.

"Saya pikir CCTV di ruang operasi bisa jadi peluang untuk memulihkan kepercayaan antara pasien dan dokter," kata dia.

RUU itu tampaknya mendapat banyak dukungan dari publik. Dalam jajak pendapat pada Juni oleh Komisi Anti Korupsi dan Hak-Hak Sipil, sebuah badan pemerintah yang independen, RUU tersebut mendapat dukungan 97,9 persen dari 13.959 responden.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI