Suara.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkritik keras pemberian dosis ketiga alias booster vaksin Covid-19 yang dilakukan sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Indonesia.
Epidemiolog WHO Mike Ryan bahkan meminta pemberian dosis ketiga sebelum negara-negara lain di dunia mendapatkan dosis vaksin yang dibutuhkan.
"Kita berencana memberikan rompi penyelamat ekstra kepada orang-orang yang sudah mengenakan rompi penyelamat, sementara orang-orang lain kita biarkan tenggelam," katanya, dilansir BBC Indonesia.
Sejumlah negara mulai memberikan dosis ketiga dengan target penerima yang berbeda-beda.
Baca Juga: Ribuan Mahasiswa di Daerah Ini Belum Divaksin Covid-19
AS menawarkan dosis booster bagi siapapun terlepas usia atau kondisi kesehatannya, delapan bulan setelah dosis kedua vaksin Moderna atau Pfizer.
Di Dubai, dosis ketiga juga tersedia untuk umum enam bulan setelah dosis kedua, dan bagi orang-orang dalam kelompok berisiko tinggi tiga bulan.
Dosis ketiga diberikan di Israel untuk warga berusia 40 tahun ke atas yang menerima dosis kedua setidaknya lima bulan sebelumnya.
Chile, Uruguay, dan Kamboja menawarkan dosis booster kepada orang-orang yang diimunisasi dengan vaksin Sinovac atau Sinopharm, dimulai dengan lansia dan kelompok berisiko.
Begitu pula Indonesia dan Thailand, menawarkan dosis ketiga merk vaksin yang berbeda kepada tenaga kesehatan yang telah diimunisasi dengan Sinovac, meskipun cakupan vaksinasi masih rendah (masing-masing 15% dan 8%).
Baca Juga: Pantau Program Vaksinasi COVID-19, Ombudsman Jabar Minta Warga Lakukan Ini
Prancis dan Jerman akan mulai menawarkan dosis ketiga pada September mendatang, sementara Inggris belum memutuskan.
Brasil, Korea Selatan, dan India termasuk negara-negara yang tengah mempertimbangkan program vaksinasi booster, meskipun belum ada rencana yang diumumkan di negara-negara tersebut.
Perlindungan Ekstra VS Dilema Moral
Pemberian dosis ketiga memancing perdebatan antara perlindungan ekstra dengan dilema moral. Hasil penelitian di Israel menyebut dosis ketiga Pfizer meningkatkan perlindungan dari infeksi secara signifikan.
Penelitian lainnya menyebut Pfizer dan Moderna memiliki kesimpulan yang sama.
Di sisi lain, Oksana Pyzik, mitra peneliti senior di Sekolah Farmasi UCL, mengatakan keputusan untuk memberikan dosis ketiga seawal ini tidak berlandaskan sains.
"Dosis booster adalah reaksi terhadap Delta dan kebijakan 'untuk berjaga-jaga'," katanya kepada BBC.
Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung kebutuhan atau bahkan efektivitas dosis booster, kata Dr. Pyzik.
"Saat ini, ada sedikit data tentang kekebalan yang memudar, namun pada tahap awal ini data mengarah pada penurunan proteksi dari infeksi ringan, bukan penyakit parah," ujarnya.