Suara.com - Pemerintah resmi memperpanjang Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat alias PPKM dari 24 Agustus hingga 30 Agustus 2021.
Pengumuman PPKM resmi diperpanjang ini disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo melalui konferensi pers virtual, Senin (23/8/2021) malam.
"Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang PPKM di Pulau Jawa dan Pulau Bali sejak 24 Agustus sampai 30 Agustus," kata Jokowi.
Selanjutnya, agar dapat menurunkan penyebaran kasus, Jokowi memerintahkan pemerintah daerah agar dapat mengurangi tingkat isoman dan fokus menjadi isolasi terpusat (isoter).
Baca Juga: TOK! PPKM Level 4, 3, dan 2 di Jawa-Bali Resmi Diperpanjang Hingga 30 Agustus
Sementara itu dihubungi secara terpisah, epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman menekankan bahwa PPKM memang mampu menahan pergerakan masyarakat. Namun PPKM hanya memperlambat penyebaran virus, bukan menghentikan penularan.
"Harus diingat, PPKM ini hanya memperlambat penyebaran virus, dia tidak menghentikan, belum bisa menghentikan, karena tidak berhasil menemukan kasus-kasus yang banyak," imbuhnya.
Ada sejumlah pesan yang disampaikan epidemiolog terkait perpanjangan PPKM yang perlu dijadikan catatan, antara lain:
1. Masa krisis belum selesai
Dicky mengatakan bahwa Indonesia belum keluar dari masa krisis. Sebab, ancaman varian Delta masih ada di tengah masyarakat.
Baca Juga: PPKM Berlevel Diperpanjang di Pulau Jawa-Bali hingga 30 Agustus Mendatang
"Masa krisis masih ada, bahwa kita sudah melampaui puncak kasus untuk Jawa dan Bali secara umum, iya. Tapi belum selesai masa krisis ini dan masa depan dari kurva kita ini akan ditentukan oleh kita, manusia yang ada di masyarakat, pemerintah, swasta dan lainnya," ucapnya
2. Pelacakan kasus baru turun
Menurutnya, saat ini masih banyak kasus positif Covid-19 di Indonesia yang belum ditemukan.
Bahkan jumlahnya bisa mencapai 50 ribu per hari. Kondisi itu terjadi lantaran masih belum optimalnya testing juga tracing yang dilakukan.
"Secara nasional, harusnya satu orang dites per 1.000 penduduk, ini hanya 0,4. Di tengah kondisi saat ini adalah untuk menemukan satu kasus terkonfirmasi covid di Indonesia hanya perlu 4 atau 5 orang di tes. Artinya positivity rate kita rata-rata di atas 20 persen sejak masa gelombang Delta, ini berbahaya," ucapnya.
3. Indikator penurunan level PPKM harus jelas
Menurutnya, aturan PPKM belum bisa dicabut saat ini. Bukan hanya untuk wilayah Jawa-Bali, di mana aturan PPKM level 4 akan selesai hari ini.
Tetapi, dengan adanya tingkat level pada aturan PPKM tersebut, Dicky menyarankan sebaiknya pelonggaran lebih dilakukan dengan menurunkan tingkat level tersebut, bukan mencabut PPKM seutuhnya.
"Harus ditegaskan dulu performa indikatornya supaya tidak berubah-ubah, supaya tidak ada negosiasi. Kita kan terbiasa begitu, dulu PSBB, ada PSBB transisi, ada negosiasi, itu tidak bisa dalam situasi seperti ini. Kita Jangan membawa kebiasaan kita dalam bernegosiasi, karena ini masalah nyawa. Kalau memang mau PPKN level 4, ya patuhi indikatornya. Kalau memang layak ke (PPKM level) tiga, patuhi juga indikatornya," tuturnya.
4. Larang kerumunan, bukan pembatasan pergerakan
Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unuversitas Indonesia Dr. dr. Tri Yunis Miko, MSc., mengatakan, sebaiknya pemerintah mengubah strategi PPKM dengan lebih menekankan pelarangan berkerumun.
"Lebih meng-highlight kerumunan. Bahkan di Singapura dan Malaysia dibuat undang-undang anti berkerumun, kalau berkerumunan didenda. Di Malaysia 2 juta, di Singapura 3 juta," kata Tri saat dihubungi suara.com, Senin (23/8/2021).
5. Perbanyak tes Covid-19
Tri juga mengkritik bahwa yang terjadi saat ini, di mana kasus positif harian telah turun hingga belasan ribu per hari, juga diikuti dengan testing dan tracing yang ikut berkurang.
Tri mempertanyakan, bagaimana bisa kasus positif harian turun tetapi angka kematian masih stagnan di atas seribu jiwa per hari.
"Kuncinya surveillance dulu yang benar. Kalau kita gak benar surveillance bagaimana menentukan negara kita sudah turun, kan tesnya sedikit. Kalau tesnya banyak akan banyak lagi (kasus positif). Udah gitu angka kematian 10 persen lagi. Aduh, negara ini kacau balau. Kalau menurut saya, indikator itu kacau karena surveillance-nya kacau, bukan karena penyakitnya kacau," tuturnya.