Suara.com - Aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dibuat pemerintah guna menekan laju mobilitas warga sehingga penularan Covid-19 bisa ditekan.
Meski telah berlangsung berbulan-bulan, namun perubahan strategi dalam penerapan PPKM masih nyaring terdengar.
Kekinian, Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unuversitas Indonesia Dr. dr. Tri Yunis Miko, MSc., mengatakan pemerintah sebaiknya mengubah strategi PPKM dengan lebih menekankan pelarangan berkerumun.
"Lebih meng-highlight kerumunan. Bahkan di Singapura dan Malaysia dibuat undang-undang antiberkerumun, kalau berkerumunan didenda. Di Malaysia dua juta, di Singapura tiga juta," kata Tri saat dihubungi suara.com, Senin (23/8/2021).
Baca Juga: Epidemiolog Sebut Masa Krisis Belum Selesai, Apakah PPKM Diperpanjang?
Menurutnya, penularan terjadi ketika aktivitas menimbulkan kerumunan. Dan selama pergerakan tetap dilakukan dengan taat protokol kesehatan, akan sangat kecil kemungkinan terjadinya penularan Covid-19.
Tri menjelaskan, rumus penularan Covid-19 sebenarnya bisa dituliskan dengan beta x C x D. Dengan beta (B) berarti probabilitas penularan, dikalikan contact (C) atau kerumunan, dan duracy (D) of activity atau lamanya berada di area publik.
"Tidak ada mobilitas di situ. Kalau yang menyatakan mobilitas berhubungan dengan penularan, itu salah. Saya sudah diskusi dengan yang punya ide itu."
"Jadi menurut saya jangan sampai kesalahan itu terus dibawa. Biarkan orang mobile, kalau mobilitas mengikuti prokes, ada jarak, pakai masker, kemudian dites sebelumnya, gak akan ada penularannya," tuturnya.
Untuk melaksanakan hal tersebut, Tri mengingatkan agar pemerintah juga memperbaiki sistem pengawasan. Terutama dalam pelaksanaan testing dan tracing.
Baca Juga: PPKM di Bandarlampung Diklaim Turunkan Mobilitas Warga hingga 25 Persen
Sebab kedua hal tersebut yang akan menjadi indikator untuk melihat laju kasus positif Covid-19 apakah sudah turun atau masih terjadi lonjakan.
Ia mengkritik bahwa yang terjadi saat ini m, di mana kasus positif harian telah turun hingga belasan ribu per hari, sayangnya hal itu juga diikuti dengan testing dan tracing yang ikut berkurang.
Tri mempertanyakan, bagaimana bisa kasus positif harian turun tetapi angka kematian masih stagnan di atas seribu jiwa per hari.
"Kuncinya surveillance dulu yang benar. Kalau kita gak benar surveillance bagaimana menentukan negara kita sudah turun, kan tesnya sedikit. Kalau tesnya banyak akan banyak lagi (kasus positif). Udah gitu angka kematian 10 persen lagi."
"Aduh, negara ini kacau balau. Kalau menurut saya, indikator itu kacau karena surveillance-nya kacau, bukan karena penyakitnya kacau," tuturnya.