Suara.com - Informasi bohong atau hoaks mengenai Covid-19 masih saja bermunculan meski pandemi telah berlangsung selama 1,5 tahun. Terbaru dan viral di media sosial adalah mengenai kematian pada pasien Covid-19 diakibatkan interaksi obat.
Benarkah bisa begitu? Apa definisi intetaksi obat sebenarnya?
Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt., menjelaskan bahwa interaksi obat merupakan adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersamaan oleh pasien. Secara umum, interaksi dapat meningkatnya efek farmakologi obat lain yang bersifat sinergis (additif), atau justru mengurangi efek obat lain (antagonis), atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan.
"Karena itu, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya. Ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual," jelas Prof. Zullies dalam keterangan tertulis yang diterima suara.com, Senin (12/7/2021).
Banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapi, apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid), lanjutnya. Bahkan satu penyakitpun bisa membutuhkan lebih dari satu obat.
Baca Juga: Epidemiolog Unsri Saran Sumsel Tambah Nakes, Pasien COVID 19 Meningkat
"Contohnya hipertensi. Pada kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat tunggal, dapat ditambahkan obat antihipertensi yang lain, bahkan bisa kombinasi 2 atau 3 obat antihipertensi. Dalam kasus ini, memang pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme yang berbeda," paparnya.
Dalam kondisi tersebut, menurut Prof. Zullies, obat dapat dikatakan berinteraksi, tetapi dengan interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah. Namun tetap harus diperhatikan terkait dengan risiko efek samping, karena semakin banyak obat tentu risikonya bisa meningkat.
Sementara terkait infeksi Covid-19, setiap orang bisa mengalami kondisi dan gejala yang sangat bervariasi. Misalnya, pada pasien Covid yang bergejala sedang sampai berat dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lainnya.
Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin.
"Justru jika tidak mendapatkan obat yang sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian. Dalam hal ini, dokter tentu akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasien. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya meninggal dengan obat-obat yang diberikannya," ucap Prof. Zullies.
Baca Juga: Melejit! COVID-19 Indonesia Tembus 2,5 Juta Kasus
Ia menegaskan bahwa interaksi obat tidak mudah menyebabkan kematian. Jika ada penggunaan obat yang diduga akan berinteraksi secara klinis, maka pemantauan hasil terapi perlu ditingkatkan.
Sehingga, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat interaksi obat, dapat segera dilakukan tindakan yang diperlukan, seperti menghentikan atau mengganti obat.
"Hal ini menunjukkan juga perlunya kerjasama antar tenaga kesehatan dalam memberikan terapi kepada pasien. Sehingga dapat memantau terapi dengan lebih cermat, sehingga tidak berdampak membahayakan bagi pasien. Jadi, jika ada yang menyebutkan bahwa kematian pasien Covid-19 adalah semata-mata akibat interaksi obat, maka pernyataan itu tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," pungkasnya.