Suara.com - Pasien COVID-19 dinyatakan pulih setelah menyelesaikan isolasi mandiri selama 14 hari tanpa ada keluhan.
Namun pakar mengatakan usai menjalani isolasi mandiri, penyintas perlu mewaspadai munculnya gejala tambahan.
Praktisi klinik sekaligus relawan COVID-19, dr. Muhamad Fajri Adda'i mengatakan pada beberapa kejadian terdapat gejala tambahan usai pasien menjalani karantina 14 hari.
Gejala seperti ini harus benar-benar diperhatikan untuk penanganan lebih lanjut.
Baca Juga: Ambulans Tak Mampu Imbangi Jumlah Pasien Covid-19, Pemkot Kediri Konversi Mobil Dinas
"Kejadian seperti ada banyak faktor, apa dia stres atau punya penyakit bawaan yang memperburuk keadaan," ujar dr. Fajri dilansir ANTARA.
Sejumlah laporan di lapangan menyebut adanya perburukan kondisi penyintas COVID-19. Hal ini menurut dr Fajri rentan terjadi misalnya karena ada penyakit bawaan.
"Di minggu kedua yang takutin adalah badai sitokinnya, bisa jadi virusnya emang udah berkurang tapi ada peradangan di sistem imun itu yang bikin perburukan, yang bikin meninggal," kata dr. Fajri.
Badai sitokin bukan satu-satunya ancaman. Pada orang dengan penyakit bawaan, adanya kerusakan organ bisa menjadi penyebab kondisi memburuk.
"Imun sistem mungkin bisa membersihkan virus di tubuh Anda, tapi organ Anda ikut rusak," imbuhnya.
Baca Juga: Meski Sudah Lakukan Isolasi 14 Hari, Gejala Lanjutan Wajib Diperhatikan Pasien Covid-19
Akan tetapi, ada juga kasus pasien COVID-19 yang hasil tes usapnya tetap positif meski sudah 30 hari tanpa gejala. Menurut dr. Fajri, hal tersebut kemungkinan adalah sisa-sisa dari bangkai virus.
"Harus dicek dulu nih, ada gejala enggak, kalah ada gejala bisa-bisa itu kasus tambahan. Dalam kejadian kayak gitu harus ditelusuri dulu, kalau hanya sisa-sisa bangkai virus enggak jadi masalah tapi harus betul-betul clear karena dapat menimbulkan kesalahpahaman," kata dr. Fajri.
Sementara itu, dr. Fajri mengatakan 90 persen pasien COVID-19 bisa sembuh sendiri oleh sistem imun. Obat-obatan yang diberikan oleh dokter bukanlah sebagai penguat imun namun untuk mengatasi peradangan yang ditimbulkan oleh virus corona.
"Steroid sama Tocilizumab itu kan emang antiperadangan bukan mengusir virus. Ketika peradangan meningkat, dikasih obat antiperadangan yang mana terbukti untuk menurunkan angka kematian pada orang yang sakit berat atau kritis. Itu terbukti," ujar dr. Fajri. [ANTARA]